1.03.2009

Kasta?!

Semasa kecil, Velutha selalu datang bersama Vellya Paapen ke Rumah Ayamenem melalui pintu belakang untuk mengirim buah-buah kelapa yang mereka petik di halaman. Pappachi tidak akan mengizinkan ayah dan anak itu masuk rumah. Tak seorang pun mengizinkan. Mereka tidak diperkenankan menyentuh segala sesuatu yang disentuh kaum Touchable. Kasta Hindu dan Kasta Kristiani. Kepada Estha dan Rahel, Mammachi pernah berkata ia ingat suatu waktu semasa gadisnya, ketika kaum Paravan diminta merangkak mundur memegang sapu untuk membersihkan tapak kaki mereka sehingga kasta Brahma dan Kristen Siria tidak perlu harus mengotorkan diri dengan menginjak bekas kaki Paravan. Pada masa Mammachi, kaum Paravan, seperti juga kaum Untouchable lainnya, tidak diperkenankan berjalan di jalanan umum. Mereka dilarang menutupi bagian atas tubuhnya dan tidak diperkenankan membawa payung. Mereka diwajibkan menutup mulut dengan tangan ketika sedang bicara untuk mengenyahkan polusi nafas mereka dari lawan bicara.

Dikutip -dengan sejumlah koreksi tanda baca- dari The God of Small Things: Yang Maha Kecil karya Arundhati Roy, diterjemahkan oleh A. Rahartati Bambang Haryo.


Kutipan di atas adalah salah satu bagian paling mengesankan buat saya ketika membaca novel peraih Booker Prize tahun 1997 tersebut. Saya mendapat gambaran sahih bahwa manusia bisa sampai pada titik yang demikian memprihatinkan dalam hal menghinakan manusia lainnya. Saya terkesan dalam ranah keheranan yang bahkan tidak bisa saya pahami.

Bertolak ke masa kini, praktik-praktik semacam itu mungkin terkikis, terutama oleh berbagai gerakan yang diusung para pembela hak-hak asasi manusia. Akan tetapi, reduksi yang terlihat, saya pikir, bukan jaminan bahwa hal-hal semacam itu hilang. Yang terjadi mungkin lebih parah, isu tentang klasifikasi tingkatan manusia berkembang jauh lebih pesat dalam domain yang lebih halus: paradigma. Kasta itu hadir bukan saja dalam hal-hal yang selama ini dipermasalahkan -semisal ras, suku, agama, tingkat pendidikan- tetapi juga dalam hal-hal yang lebih tidak masuk akal lagi seperti fisik atau cara berpakaian.

Jika pernah mendengar penelitian Paul Ewald mengenai wabah kolera, maka kejahatan kemanusiaan ini dapat saya katakan memiliki sifat serupa dengan organisme kolera. Kemampuan organisme kolera beradaptasi dengan lingkungannya memungkinkan mereka melanggengkan serangannya. Di tempat-tempat tanpa persediaan air bersih, kolera akan mengganas dan membuat penderitanya menjadi tidak berdaya akibat serangan diare parah. Tinja penderita tersebut akan segera mencemari persediaan air dan menjangkiti lainnya. Akan tetapi jika ada persediaan air bersih, maka strain yang ganas tidak akan bereproduksi dan mencemari persediaan air. Yang terjadi adalah kuman kolera tersebut beradaptasi menjadi strain yang kurang ganas dan penularannya akan terjadi oleh media lain yang tidak kentara seperti sentuhan atau melalui barang-barang penderita. Demikian juga, gembar-gembor tentang hak asasi juga tampaknya telah mengkondisikan pengkastaan manusia menjadi seolah-olah mulai terkikis sedikit demi sedikit, namun yang terjadi adalah semua tetap dalam bentuk yang berbeda; halus dan mengancam.

Saya ingin bertanya;
Seberapa banyak mendengar pembicaraan tentang sisi negatif suku tertentu?
Seberapa sering menyaksikan di televisi sehingga menjadi biasa dengan bla-bla produk kecantikan tentang kriteria wanita cantik adalah yang seperti ini dan itu?
Seberapa gampang memandang sebelah mata tempat seseorang mengenyam pendidikan?
Seberapa kerap menilai seseorang dari cara berpakaiannya sehingga enggan memperlakukakannya sebagaimana mestinya?
Seberapa mudah menjadikan pilihan seseorang sebagai bahan tertawaan atau cemoohan atau bahkan kemarahan?
Seberapa ini...?
Seberapa itu...?

Hmmm.... Tahukah kamu? Ternyata orang-orang dahulu jauh lebih jujur. Mereka menjadi seorang rasis atau yang sebangsanya secara terbuka. Dan sekarang? Mungkin kita berdosa berkali-kali lipat, sebab dalam lisan mencela hal-hal semacam itu namun dalam tingkah justru menjadi contoh paling jelas dari pelaku dan parahnya merasa biasa-biasa saja dengan itu semua. Parodi satir yang menjadi santapan sehari-hari.

Oh! Mungkin saya sedang berbicara tentang diri saya sendiri! Maafkan saya, jika demikian....

No comments: