12.09.2009

Romadhon Punya Cerita

Dari NOTES facebook:

Romadhon lalu meninggalkan bermacam pengalaman buat saya. Saya mengalami menjalani hari-hari Romadhon di sejumlah tempat: Lombok, Bandung, Malang, Bima, dan sebagian kecilnya di dalam perjalanan menuju tempat-tempat tersebut.

Sepuluh hari pertama saya lalui di tanah kelahiran saya di Lombok. Pengalaman paling berkesan dari hari-hari awal romadhon adalah sholat tarawih. Pada dasarnya sholat tarawih yang saya ikuti ini sama saja dengan sholat tarawih-sholat tarawih lain di masjid-masjid, perbedaannya adalah pada imamnya. Sang imam adalah seseorang yang sangat belia, saya menaksir usianya sekitar tiga belas atau empat belas tahun. SubhanaLlah, saya terkesima…. Bukan saja oleh sang imam tetapi juga oleh penerimaan takzim para makmum kepada imam muda itu. Seketika itu, saya merasa mencintai imam kecil itu, karena saya bisa merasakan keikhlasannya. Kefakihan, kealiman, dan bahkan kepemimpinan memang sepatutnya diukur dari ilmu, bukan usia.

Enam hari berikutnya saya habiskan di kota Bandung karena ada beberapa hal yang perlu diurus dengan sejumlah dosen. Bandung, saya selalu mencintai kota ini! Di sini saya senantiasa merasakan hangatnya persahabatan. Saya juga menjadi dari sekian orang yang merasakan gempa Tasikmalaya. SubhanaLlah, pengalaman gempa kedua kali ini saya masih saja terkesima. Ketika gempa itu terjadi, saya tidak segera keluar dari kamar kost dan malah berpikir ketika itu. “Betapa getaran gempa ini bisa bermakna maut namun persiapan apa ketika maut itu benar-benar datang menghampiri saya.” Saya tahu, respon saya menghadapi potensi bencana ketika itu keliru, tetapi dorongan saya untuk berpikir demikian kuat ketika itu.

Sehari sebelum meninggalkan Bandung, hari Jum’at menjelang sholat ashar, saya dimintai tolong oleh TU Fakultas untuk mencari seorang mahasiswa (junior) yang nyaris DO. Ini adalah tahun terakhirnya. Saya berpikir, “ah, mengapa saya yang mesti dimintai tolong?” Waktu demikian sempit buat saya untuk bisa menemukan mahasiswa tersebut dan saya sudah harus pulang keesokan harinya. Pun Sabtu, kegiatan akademik libur.

Kasus junior saya ini begitu aneh. Dia nyaris DO padahal memiliki IPK tertinggi di angkatannya! Teman seangkatannya sudah menyerah untuk mengingatkan dia. Para dosen juga diabaikannya. Insting saya membawa saya ke asrama tempat tinggalnya. AlhamduliLlah saya bertemu dengannya. Biasanya orang sulit bertemu dia. Saya merasa beruntung. Akhirnya saya ngobrol dengan dia dan mengajak dia segera ke kampus. Tidak biasanya, saya berbicara dengan determinasi yang lebih dalam daripada biasanya. Hari itu juga saya ajak dia bertemu pembimbing, staf TU, dan Kepala Prodi. Ternyata dia cuma punya waktu lima hari efektif untuk menyelesaikan tugas akhirnya karena dosen pembimbingnya sudah tidak di Bandung di akhir pekan berikutnya. Yang lebih ajaib, dia minta topic baru. Memang topik baru yang dia minta lebih mudah dari topik sebelumnya, tetapi buat saya itu seperti tawaran bunuh diri secara sukarela. Saya tidak habis pikir. Tetapi saya hanya diam karena merasa tugas saya cuma membuka jalan untuk bisa menyelesaikan studinya dan bukan untuk mengatur harus begini atau begitu. Pilihan ada di tangannya. Saya Cuma menghubungi beberapa teman di program studi untuk bisa memantau ybs. Saya tidak tahu apakah dia berhasil atau tidak dengan kondisi yang demikian mencekik, sampai beberapa hari lalu saya mendapat informasi dia bisa diwisuda Oktober ini. ALlahu akbar… saya merasa beruntung mengambil kesempatan untuk bisa mendukung seseorang walaupun hanya tiga jam saja. Berita wisuda junior saya itu menjungkalkan perasaan saya akan kemusykilan kasusnya. Saya diingatkan kembali untuk jangan pernah berhenti berjuang ataupun memberi dukungan walaupun perjuangan dan dukungan itu secara kasat mata adalah sesuatu yang mustahil.

Dari Bandung, saya menuju Malang. Saya di sana selama empat hari. Saya menjenguk kakak laki-laki dari ibu saya. Beliau sudah sangat sepuh, menjelang sembilanpuluhan. Di awal romadhon beliau mendapat stroke ringan. Saya mendapat kabar bahwa ketika serangan stroke itu datang, setengah bagian tubuh beliau tidak bisa bergerak dan tidak mampu berbicara. AlhamduliLlah, penanganan yang cepat bisa meredam serangan itu. Ketika saya datang, beliau sudah mampu berjalan dan berbicara. Belia bahkan pergi ke rumah temannya dengan berjalan kaki. Beliau juga sudah mulai menasihati saya juga bercerita tentang kisah masa mudanya. Saya menikmati cerita-cerita dan nasihat beliau karena saya merasa punya cukup banyak waktu untuk mendengar beliau. Saya merasa bahwa didengarkan telah menjadi kebutuhan yang makin penting di usia senja beliau, tetapi sayang kebutuhan itu tidak selalu bisa terpenuhi. Ada seberkas rasa sedih dalam hati saya… Ini membuat saya teringat dengan ibu yang kini juga makin terlihat jejak-jejak usia tuanya.

Empat hari berikutnya saya kembali ke Lombok. Sahabat-sahabat lama saya sudah mulai mudik. Senang rasanya bertemu mereka. Menarik melihat bahwa delapan tahun telah membentuk manusia-manusia yang berbeda. Perbedaan nilai dan cara pandang adalah yang membuat mereka kini berbeda. Mereka menjadi lebih dewasa, penuh pertimbangan, dan menghidupkan suasana dengan kelakar-kelakar yang juga berbeda dengan apa yang ada pada masa SMU dulu. Saya berpikir! Di manakah saya? Apakah saya juga telah menjadi orang lain? Ah, perubahan memang suatu keniscayaan, bukan? Akan tetapi, bagaimanapun, saya mencintai mereka.

Empat hari kemudian saya berada di Bima, tanah kelahiran orang tua. Di sini saya mengalami berbagai pengalaman yang sangat menyenangkan. Saya merasa menjadi anak-anak kembali karena melakukan banyak hal yang berbeda. Di sini saya ikut memanen kedelai, membuat garam, melihat tambak yang sedang paceklik karena air menjadi pahit (terlalu asin), mengambil bebek (untuk dimakan malam harinya), mencari mangga malam hari untuk dibuat rujak (yang membuat sakit perut keesokan harinya), dan bercerita tentang teknologi pesawat. Semua itu saya lakukan bersama dengan anak-anak yang usianya jauh di bawah saya. Keceriaan, rasa ingin tahu, antusiasme anak-anak memang senantiasa membuat saya merasa lebih hidup dan penuh imajinasi.

O iya, dalam perjalanan dari kota Bima ke kampung ayah dan ibu saya, ada suatu pemandangan menarik. Dalam bis sesak yang kami tumpangi, bukan pedagang asongan atau pengamen yang saya lihat, melainkan wanita-wanita penjaja ikan bandeng. Ikan-ikan itu ditawarkan dalam piring-piring kaleng seharga sepuluh ribu rupiah di dalam bis. Alhasil pengap ruang bis bercampur juga dengan amis ikan. Coba tebak, berapa ikan yang bisa diperoleh dengan sepuluh ribu rupiah? Satu piring yang dijajakan terdiri dari empat atau lima ekor ikan seukuran lebih kurang 20-25 cm. Murah ya…

Sepanjang perjalanan itu juga, saya melihat bukit-bukit kecil berwarna putih berkilau di atas petak-petak tanah. Itu adalah garam yang siap dipanen. Garam tersebut dipasarkan dalam karung-karung berwarna biru tua. Harga garam itu hanya lima ribu rupiah. Suatu kali, bersama bibi saya, kami meminta garam sekantong plastik besar pada seorang petani garam. Gratis!!!

Di sana pula saya melihat penambang pasir di muara sungai yang kulitnya tidak lagi legam melainkan berwarna tembaga. Mungkin karena panas matahari telah menempa kulit itu selama bertahun-tahun. Saya juga menyaksikan kapal kecil yang dibongkar-muat. Produk-produk lokal pulau-pulau sekitar, semisal kelapa ,kopi, dan pisang, memang kerap diturunkan di muara sungai desa kami itu. Saya diceritakan bahwa kerap kali kapal-kapal kecil itu datang dari Flores atau Sumba. Kesannya memang seperti pelabuhan ilegal.

Di Bima juga, saya melihat elang-elang laut yang berwarna putih yang makin jarang populasinya. Saya juga diberitahu bahwa alam telah banyak berubah. Saya diceritakan bahwa dahulu teripang-teripang seukuran betis orang dewasa banyak ditemui di bibir pantai dan bahkan masuk ke pematang-pematang tambak. Demikian juga sejenis rumput laut yang hidup di air payau dan beberapa jenis molusca layak konsumsi sudah tidak terlihat lagi di pantai itu. Pengolahan lahan tambak memang tidak seperti dahulu yang serba tradisional. Banyaknya pemakaian obat di tambak-tambak tersebut mungkin telah menggerus keseimbangan ekosistem di sana. Sayang…

Hari ke-29 Romadhon, saya sudah kembali berada di Mataram dengan membawa sisa lelah dan tanda tanya. Apakah ini adalah hari terakhir romadhon atau masih harus berpuasa sehari lagi keesokan harinya. Ternyata hari itu adalah hari terakhir puasa. Dan keesokan hari, ied kami dianugerahi hujan deras! AlhamduliLlah.

No comments: