7.03.2007

Cita-cita Anak Negeri (Youngster's Dreams)

For this post, I am going to write in Bahasa Indonesia. This is a post that very deeply illustrates my sadness and I think I can get the sense by writing it in my language.

Apa yang terbetik dalam benak ketika seorang anak kecil ditanya dengan pertanyaan tentang cita-citanya. Mungkin kita akan berpikir bahwa betapa antusiasnya atau mungkin dengan malu-malu menjawab menjadi dokter, insinyur, dan sebagainya. Boleh percaya boleh tidak, itu jawaban-jawaban yang keluar dari anak-anak sepuluh atau duapuluh tahun yang lalu dan mungkin terlontar dari bibir anda. Saat ini mungkin kita akan mendapatkan jawaban yang berbeda. Bukan sekedar berbeda tetapi benar-benar berbeda.

Suatu ketika saya membaca bahwa anak-anak sekarang lebih tertarik menjadi artis, entah itu sebagai penyanyi atau bintang sinetron. Ketika mendengar hal itu terus terang saya merasa kecewa dan entah mengapa sakit hati. Apakah sedemikian terpaparnya bangsa ini dengan gaya hidup dan informasi yang sampai saat ini, menurut saya, lebih banyak kejelekannya daripada kebaikannya. Ketika ditanya alas an ingin menjadi artis, mungkin dengan lugas menjawab anak-anak itu menjawaab, “biar bisa dapat uang banyak terus bisa beli macam-macam.” Atau mungkin, “biar bisa terkenal.” Sungguh jawaban-jawaban mengecewakan. Sangat jarang terdengar, “aku mau jadi dokter karena bisa membantu menyembuhkan orang sakit.” Atau, “aku mau bangun gedung bertingkat paling keren supaya ayah, ibu, kakak, adik dan teman-teman bisa tinggal di situ.” Rindu mendengar jawaban-jawaban polos namun mendalam semacam itu.

Tetapi yang hendak saya sampaikan dalam tulisan ini bukan soal cita-cita anak-anak yang demikian terpapar arus informasi. Saya hendak bercerita profil anak-anak bangsa yang sama menyedihkannya. Kepolosan mereka pun ternoda oleh lingkungan mereka. Mungkin terlihat berbeda dengan kisah anak-anak yang saya sampaikan di atas namun hakikatnya adalah sama.

Di bilangan Jakarta Utara...
“Kalau sudah besar kamu mau jadi apa?” Pertanyaan tersebut terlontar pada seorang bocah kecil. Terus terang aku tidak pernah mempersiapkan diri untuk suatu jawaban yang terkamit dari bibirnya.
“Preman.”
”Kok mau jadi preman?” Pertanyaan ini penting. Latar belakang semua ini mungkin akan terjawab dengan pertanyaan yang satu ini.
“Bapak preman. Dari situ dia dapat uang.”
Dan perasaan beku menjalar…

Di daerah pinggiran Bandung...
“Dik, kamu mau jadi apa kalau sudah gede?” Ini adalah pertanyaan buat seorang gadis kecil yang tampak demikian bersahaja.
“Pelacur,” jawabnya polos. Ini benar-benar aneh dan di luar kebiasaan. Bagaimana seorang anak yang demikian lugu punya pemikiran seperti itu.
“Kenapa?”
“Ibu juga seperti itu. Makanya dia bisa menyekolahkan saya,” pungkasnya.


Dua cerita itu dituturkan seorang sahabat yang sedang mengumpulkan data untuk kegiatan community service-nya. Ketika mendengar cerita itu saya cuma bisa diam dan merasa tidak lagi menjejak di orbit bumi. Ini benar-benar keterlaluan. Dan saat ini pula, perasaan itu masih buncah dalam dada. Bangsa ini bercita-cita menjadi sesuatu yang tidak bermoral. Ah… sedih sekali menuliskan kalimat sebelum kalimat ini. Tetapi bukankah ini yang mungkin terjadi, masa depan bangsa ini ada di tangan mereka.

Anak-anak telah ternoda kemurniannya. Profesi-profesi yang mereka pilih karena berorientasi materi. Dan ironisnya anak-anak di semua lapisan sosial menunjukkan kecenderungan serupa. Mungkin inilah yang terjadi ketika sistem memaksa kita untuk bergantung pada yang namanya materi, atau lebih khusus lagi uang. Pendidikan, kesehatan, hiburan, atau apapun butuh uang. Apa yang saya sampaikan bukan berarti menafikan pentingnya uang, namun yang terjadi sekarang adalah hampir segala hal diukur dengannya. Mungkin orang tua-orang tua di Indonesia lebih banyak yang berkata, "Nak, kalau sudah besar carilah banyak uang agar hidup kamu terjamin." Semakin sayup terdengar doa orang tua, "Jadilah kamu anak yang shalih, jujur, dan berguna buat sesama dan negeri ini."

Pertanyaan selanjutnya akan lebih berat. Siapa yang bertanggungjawab atas hal ini? Yang saya maksudkan bertanggungjawab bukanlah mencari siapa yang salah, melainkan siapa yang mampu berbuat sesuatu mengentaskan kenistaan masa depan bangsa ini. Pertanyaan sulit, bukan? Mungkin tidak akan ada yang mau mengambil peran di sini. Tidak menguntungkan, itu mungkin alasan yang akan keluar.

Saya kini berpikir dan masih terus berpikir, “Apa yang bisa saya lakukan?” Saya merasa sangat berdosa ketika tidak mampu bertindak. Apa? Apa? Bagaimana? Bagaimana? Pertanyaan-pertanyaan itu masih belum terjawab sampai sekarang. Ah betapa memalukan…. Akan tetapi satu hal yang saya berjanji dengan sepenuh hati, anak-anak saya nanti akan saya didik sebaik mungkin sehingga ketika dia ditanya tentang cita-citanya yang tertutur adalah sesuatu yang mulia dan membanggakan buat rakyat negeri ini, bahkan buat semesta.

*Picture captured from http://www.idp-europe.org/indonesia/

2 comments:

Anonymous said...

Saya pernah berinteraksi dengan anak-anak orang Jakarta (yang relatif "tajir" kalo istilah anak muda sekarang).

Kalau saya bandingkan, jawaban anak2 yang bos Ilham ceritakan itu lebih menunjukkan jati diri mereka ketimbang anak2 yang hidupnya lebih berada. Maksud saya, anak2 orang kaya itu memilih cita-cita karena dituntun, bukan karena keinginan mereka sendiri. Saya nggak yakin si anak pelacur menjawab seperti itu karena disuruh ibunya, dan saya berasumsi bahwa si anak sudah mandiri memilih jalannya.

Itu satu sisi bagus: anak mandiri. Ketimbang anak yang ingin jadi dokter tapi gak tau kenapa harus jadi dokter.

Namun ya memang sangat-sangat-sangat disayangkan bahwa pilihan mereka bukan pilihan yang baik. Mudah2an ketika baligh nanti mereka bisa memilih jalan yang lurus itu...

Muhammad Ilham Adhynugraha said...

@edwards:
Thanks for the comment.
Mudah-mudahan anak negeri ini nantinya membawa kebanggaan bagi negeri ini. amiin....

Tapi, perlu kerja kerasnya dari kita-kita juga bos...