9.12.2007

Tandang ke Kepri (Went to Kepri)

Rushing months. It is long time not to write since the last time I posted here. So many experiences about events, journeys, people uproar within my mind. It’s about time dragged me to write nothing. This is it, I am writing now. However, I’d like to write in Bahasa Indonesia for this time being.

Baiklah, untuk bagian pertama, saya akan menuliskan pengalaman saya bertandang ke Kepulauan Riau beberapa waktu yang lalu. Perjalanan ini sungguh menarik karena saya melihat suatu keragaman yang begitu mengagumkan dari pulau-pulau yang saya kunjungi.

Pada bulan Mei yang lalu saya ditawari oleh Ibu Linda untuk menjadi fasilitator dalam training yang ditanganinya untuk mahasiswa Poltek Batam. Saya menerima tawaran itu sehingga di akhir Agustus saya terbang menuju Batam. Awalnya, pada tanggal 27 Agustus saya berangkat ke Jakarta bersama fasilitator yang lain: Chendy, Andik, dan Wibi. Kami menginap satu malam di tempat Ibu Linda dan ternyata sudah ada Mas Enang di sana yang juga akan menjadi fasilitator dalam training tersebut. Keesokan paginya bergabung dengan fasilitator lain (Dodi, Mbak Yayuk, dan Mbak Erni) di Bandara Soekarno-Hatta. Sekitar pk. 7.30 kami diangkut AirAsia menuju Batam.

Pertama kali menginjak Batam, saya mendapat kesan bahwa pulau ini cukup subur walaupun panas. Akan tetapi, dugaan saya sama sekali salah sebab di luar Bandara Hang nadim saya melihat kondisi bentang alam Batam yang sesungguhnya. Tanah batam tidak dapat dikatakan subur, berwarna merah dan cenderung bercadas. Ketika hujan, terlihat jelas bagaimana air sangat sulit menyusup ke dalam tanah. Udara pantai yang panas dan asin teraromai sangat kuat. Kondisi seperti ini mengingatkan saya akan tanah kelahiran di Nusa Tenggara Barat yang juga berudara pantai.

Satu hal yang saya lihat dari Batam adalah pembangunan fisik yang terlihat sangat masif di setiap sisi pulau ini. Tampaknya ini konsekuensi dari statusnya sebagai daerah kawasan industry yang secara geografis sangat dekat dengan Singapura. Pembangunan yang cukup pesat dan janji hidup yang lebih baik di sana telah mendorong orang-orang datang ke pulau ini. Saya cukup terkejut mendapati bahwa suasana Melayu di daerah ini nyaris tidak ada. Pluralitas telah menjadi warna di sana. Orang pertama yang saya temui justru berdialek Jawa Tengah yang kental. Beberapa yang saya temui juga berlogat yang bukan Melayu. Ada yang Jawa, Palembang, Batak atau Padang.

Sehari kemudian setelah tiba di Batam, kami disibukkan oleh training selama dua hari (29-30/8) yang cukup menguras energi namun sangat menyenangkan. Cerita tentang training ini akan saya ceritakan dalam kesempatan lain saja. Yang pasti dari training itu saya melihat betapa daerah ini telah mendidik manusianya menjadi pejuang lebih dari yang saya bayangkan sebelumnya.

Pasca training (31/8), saya dan tim fasilitator yang saya sebut tadi mengadakan perjalanan ke pulau-pulau di sekitar Batam. Dari yang saya sebut sebelumnya ada tambahan orang dalam perjalanan kami ini, yaitu Bang Lendi, Kak Ira, Putri, Pak Arief, Mbak XXX (lupa namaya :-P), dan Yoli. Pulau pertama yang kami tandangi adalah Bintan dimana ibukota Kepri, Tanjung Pinang, berada di pulau ini.

Tanjung Pinang memberi gambaran awal yang cukup menarik tentang budaya Melayu. Kebetulan hari itu adalah hari Jumát. Saya melihat pria-pria yang bergegas menuju masjid dengan tampilah yang sangat berbeda dengan yang saya temui di tempat lain. Mereka memakai pakaian tradisioanal (baju dan celana) berwarna cerah seperti kuning dan merah muda. Sarung khas dipakai hanya menutupi hingga sebatas lutut. Saya senang sekali melihat pemandangan ini. Tapi yang berkesan dari kunjungan ini sebenarnya adalah menikmati kuliner di sini. Untuk pertama kalinya saya merasakan makanan yang bernama mi lender. Ini adalah mi telor dengan siraman kuah tertentu berwarna coklat yang sepertinya dengan bahan dasar kacang. (Agak lupa pastinya.) Sorenya (setelah berkunjung ke Pulau Penyengat dan Senggarang) kami menikmati makanan laut di daerah Batu Licin. Tempatnya sangat jauh tapi citarasa yang disajikan membuat semua kesulitan yang terasa untuk mencapai daerah ini terobati. Kepiting-kepiting yang disajikan besar-besar, udang goring tepungnya juga nikmat.

Suasana Melayu lebih kental terasa di Pulau Penyengat. Dari segi arsitektur kita bisa menyaksikan masjid bersejarah peninggalan Kerajaan Melayu. Masjid tersebut konon dilapisi kulit telur pada bagian kubah sehingga seringkali dinamakan masjid telur. Warnanya yang kuning cerah sangat menarik mata. Ada cerita bahwa barang siapa yang berdoa dengan khusyu’ di masjid ini dia boleh jadi didatangi oleh Orang Bunian yang akan menjawab pertanyaan orang tersebut setelah selesai berdoa/sholat di sana. Orang Bunian adalah penduduk asli pulau tersebut. Saya sendiri tidak terpengaruh dengan cerita-cerita semacam itu. Pokoknya sholat yang khusyu’ saja sembari menikmati keindahan arsitektur masjid tersebut. Satu hal lagi yang menarik adalah terdapatnya mushaf Al-Qurán dari abad pertengahan yang bergaya Turki. Mushaf al-Qurán ini meniadakan sejumlah tanda baca di dalamnya demi setiap orang punya penafsiran sendiri tentan apa yang dibacanya dalam gaya penulisan semacam itu. Terlepas dari benar tidaknya, tetap saja kitab tersebut adalah asset yang berharga. Sayang sekali bagian dalam masjid dan mushaf itu tidak boleh difoto.

Sholat Jumát yang saya lakukan di tempat ini memberi saya pengalaman baru. Terdapat beberapa prosesi yang tampaknya dibawa sejak jaman kerajaan dulu. Khutbah dilakukan oleh khatib dengan memegang suatu tongkat logam (mungkin dari kuningan). Di sini khatib tidak otomatis sebagai imam Sholat Jumát. Perempuan dijinkan juga untuk ikut sholat Jumát. Tempat perempuan adalah semacam panggung berkerangka.

Perjalanan di penyengat dilanjutkan dengan mengunjungi sejumlah situs sejarah seperti makam-makam raja yang dimakamkan di Pulau Penyengat. Di salah satu situs makam terpahat ‘Gurindam Duabelas’ yang asli. Kekayaan sastra Melayu memang luar biasa.

Kami juga berkunjung ke balai adat yang menghadap pantai. Di bawah bangunan yang berbentuk panggung itu ada sebuah sumur yang airnya sangat segar dan tidak payau sama sekali. Ini agak mengherankan mengingat bahwa jarak sumur dan pantai hanya sekitar seratus meter.

Dari Penyengat kami bertolak ke Senggarang. Pulau ini punya atmosfer yang beda karena suasana oriental begitu kental di sini. Dua klenteng Cina menyambut kami begitu berlabuh di pulau tersebut. Di sisi klenteng ada kolam ikan dengan patung Dewi Kwam Im dan Nacha (betul tidak ya, namanya seperti ini?) yang menjadi satu bagian dengan kolam tersebut. Di dalam klenteng rupanya dipelihara kura-kura. Mitosnya, kalau berdoa kemudian menjatuhkan koin tepat di atas kepala kura-kura tersebut maka doa itu akan terkabul. Ada-ada saja ya….

Tidak jauh dari klenteng-klenteng itu terdapat vihara Budha. Ada patung Budha yang demikian besar dengan tangan-tanganya yang begitu banyak. Suasana ranah Tiongkok yang begitu kental berdampingan dengan budaya Melayu yang masih asli membuat saya berpikir bahwa toleransi di Kepri ini berjalan demikian baik. Di Senggarang ini kami tidak mengobservasi lebih jauh karena mengejar untuk sampai di tanjung pinang sebelum Ashar. Tiba di Tanjung Pinang lagi, kami melaju ke Batu Licin seperti yang saya telah ungkapkan di atas. Menjelang malam kami kembali bertolak ke Batam.

Pagi esoknya (1/9), kami melakukan perjalan menuju Pulau Galang yang terletak 35 km dari Batam. Kami tidak melakukan perjalan lewat laut karena Pulau Batam, Rempang, dan Galang dihubungkan oleh jembatan Barelang. Jembatan ini unik karena salah satunya mirip dengan Golden Gate di California itu. Yang lain berasitektur lengkung yang sebenarnya juga tidak kalah unik.

Pulau Rempang punya kontur tanah yang agak berbeda dengan Batam. Tamapknya pulau ini lebih subur karena tidak lagi saya lihat tanah-tanah merah. Beberapa malah saya lihat agak berawa-rawa. Tidak banyak kesan saya di pulau tersebut karena cuma lewat saja.

Pulau Galang menurut saya adalah yang paling menarik karena tempat ini adalah saksi sejarah perang saudara di Vietnam dahulu. Apa pasal? Tempat ini merupakan tempat pengungsi perang tersebut yang jumlahnya mencapa ratusan ribu orang. Perahu yang mereka gunakan dahulu telah dimonumenkan. Selama nyaris tigapuluh tahun para pengungsi itu hidup di kamp-kamp konsentrasi di pulau ini. Mereka akhirnya dikembalikan ke Vietnam atau menuju negara-negara ketiga yang mau menampung mereka. Ada pula yang memilih bunuh diri karena tidak mau kembali ke negeri asal.

Kata teman yang turut serta dalam perjalanan itu, suasana Galang seram. Akan tetapi, sebaliknya, saya merasa sedih. Hal ini tidak dapat saya jelaskan. Peninggalan-peninggalan orang Vietnam seperti kuil dan gereja tampak tak terurus. Sayang sekali. Pulau itu sepi, dan sepertinya hanya didiami oleh orang-orang yang ditugaskan untuk menjaga situs-situs sejarah di situ.

Satu hal yang mengharukan bahwa ternyata para pengungsi Vietnam tersebut sangat antusias setiap perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan jauh lebih antusias dari penduduk asli di sana. Saya diceritakan bahwa mereka berpakaian rapi dan mendekor rumah-rumah, sekolah-sekolah, jalan-jalan dengan luar biasa sehingga perayaan kemerdekaan Indonesia justru sangat semarak.

Kekelaman akibta perang terpancar dari wajah-wajah sendu mereka yang saya lihat dari foto. Syukurlah mereka yang akhirnya pergi ke negeri ketiga dikabarkan menjadi sukses. Dan Pulau Galang hanya meningglakan lengang dan cerita-cerita mistis yang menegakkan bulu kuduk. Sayang, sungguh sayang.

Perjalanan ke galan adalah yang terakhir sebelum kami kembali terbang menuju Jakarta. Perjalanan berkeliling pulau-pulau di Kepri sungguh merupakan pengalaaman luar biasa. Mudah-mudahan ada rezeki untuk berkunjung ke daerah-daerah lain di Indonesia. Saya percaya banyak tempat-tempat lain yang tidak kalah luar biasa. Target kunjungan berikutnya: Belitung, Karimunjawa, Raja Ampat.

N.B.: Foto-foto menyusul. Tidak sempat memindahkan nih... :D

No comments: