12.10.2009

Hujan

Dari NOTES facebook:

Hujan menyambut kepulangan saya ke Lombok. Saya menghirup aroma tanah dan rerumputan basah yang bersenyawa dengan udara. Segar. Ah… saya selalu mencintai hujan.

Saya mengenang masa kecil ketika dahulu di musim hujan, hampir setiap hari saya dan teman-teman bermain hujan. Kami mandi di kali yang airnya sudah sangat coklat membawa humus sehingga mata kami menjadi merah, bibir menjadi jeri, dan jemari menjadi keriput. Atau berkubang lumpur di sawah-sawah. Atau ke kebun-kebun berburu binatang-binatang hujan. Atau sekedar mengguyur badan dengan lebatnya curahan air. Buat kami, ketika itu, hujan adalah kebutuhan primer.

Akan tetapi saya meyadari satu hal baru tentang hujan. Perjalanan menuju rumah dari bandara mebuat saya melihat hal itu. Saya melihat banyak sekali orang-orang menikmati curahan air yang demikian lebat. Mereka berhujan-hujan. Laki-laki dan perempuan. Dewasa dan anak-anak. Yang bertelanjang dada atau berpakaian lengkap. Di sini, hujan punya makna lain.

Saya melihat sekelompok remaja yang berlarian dan sesekali berputar badan. Mereka tengah berdansa dengan titik-titik air. Tidak jauh dari sana, dua orang pria paruh baya berjalan-jalan santai dalam guyuran hujan. Saya melihat bahwa dingin mulai menggigit ujung jari dan bibir mereka, tetapi siapa yang mampu menolak rayuan mesra sang hujan. Anak-anaklah yang paling bergembira. Mereka berlari-larian di atas jalan yang licin menuju sawah-sawah, ladang-ladang, atau tanah lapang. Beberapa orang anak tergelincir, namun mereka segera bangkit melanjutkan keceriaannya.

Saya akhirnya bisa mengingat kembali, bahwa hal ini telah terjadi sejak dahulu ketika kami kanak-kanak. Orang-orang dewasa juga berpartisipasi dalam kegembiraan musim hujan. Dan sungguh kegembiraan itu bukan euphoria atas terbebasnya dari kemarau, sebab di sini air belum pernah menjadi kering.

Di tanah ini, berhujan-hujan bukan milik anak-anak semata. Di sini, hujan memiliki daya pikat magisnya yang membuat kala demikian bijaksana mengundurkan waktu sehingga setiap orang berhak menjadi kanak-kanak kembali.

Bagi orang-orang di sini, hujan adalah kebebasan.


12.09.2009

Keajaiban Bernama Kelahiran

Dari NOTES facebook:

Kelahiran seorang anak manusia ke muka bumi adalah sebuah keajaiban. Sekian orang telah menjelaskan dari berbagai macam sisi. Para ilmuwan telah memberi penjelasan nan menakjubkan tentang proses terlahirnya manusia di dunia. Kaum spiritualis menjelaskan bahwa ada ruh ilahiyah yang belum ternoda pada tiap bayi yang lahir. Itu sebabnya mereka begitu murni dan membawa kebahagiaan. Negarawan melihat mereka sebagai masa depan bangsa.

Di antara keajaiban-keajaiban itu adalah perubahan-perubahan yang dibawa bagi para orang tua. Dengan kelahiran seorang anak, seorang pria menjadi lebih tekun mencari nafkah sebab dengan kelahiran itu dia telah menjadi ayah. Atau seorang wanita yang menjelma menjadi manusia super tangguh karena dia telah menyandang predikat ibu.

Saya juga punya kisah tentang keajaiban tentang kelahiran ini. Cerita ini saya peroleh di tahun 2003 lalu yang datang menghampiri saya tanpa terduga. Sungguh kedatangan cerita itu pada saya adalah keajaiban juga sebagaimana saya menuliskannya hari ini.

Suatu ketika saya bertemu dengan seorang pengendara taksi dan menginap di rumah beliau beberapa hari. Sungguh beliau adalah orang yang ramah. Istri beliau pun orang yang sangat bersahabat. Dengan seorang putri yang berusia sekitar setahun, saya tahu bahwa ini adalah sebuah keluarga yang bahagia.

Suatu hari, ketika beliau itu tidak menjalankan taksinya, saya berbincang-bincang dengannya. Entah mengapa pembicaraan mengarah pada perjalanan hidup beliau.

“Saya,” kata beliau, ”sudah narik taksi sejak muda, Mas.”

“Ya, Pak?!”

“Iya. Tapi saya dulu nakal, Mas.”

“Nakal bagaimana?”

“Saya dulu suka main perempuan. Banyaklah pokoknya. Bahkan sampai saya sudah menikah.”

“Kok bisa?”

“Bisa, Mas. Apalagi kalau perginya jauh. Kadang memang nggak pulang ke rumah sampai dua-tiga hari.”

“Ooh….”

“Tapi semua berubah waktu anak saya lahir. Waktu saya tahu yang lahir adalah anak perempuan, saya jadi nggak ingin lagi melakukan hal-hal seperti itu. Syukurlah!”

“Wah…, hebat ya, Pak.”

“Nggak kok. Tetapi itu, soalnya yang lahir anak perempuan. Mungkin kalau yang lahir laki-laki saya masih seperti dulu, hahahaha….”

Saya tersenyum. Saya takjub bahwa kelahiran seseorang bisa membawa perubahan bagi orang tuanya sampai sedemikian besarnya. Perubahan sikap dan cara pandang serta keputusan untuk menjadi manusia lebih baik merupakan hal luar biasa yang belum tentu hadir setiap saat atau ke setiap orang.

Saya segera tersadar bahwa keajaiban-keajaiban itu adalah karunia Allah. Dia Yang Mahatahu keajaiban-keajaiban apa yang akan hadir dengan kelahiran seorang laki-laki atau perempuan ke muka bumi. Dia Yang Mahasantun dan Mahalembut dalam mencurahkan keajaiban tersebut. Dan keajaiban-keajaiban itu tidak lain adalah hikmah dari peristiwa yang hadir di balik ketetapan-ketetapanNya.

Sahabat-sahabatku yang membaca notes ini, mungkin suatu saat kita perlu bertanya pada orang tua masing-masing. Bertanya tentang keajaiban-keajaiban apa yang hadir dengan kelahiran kita.
Dan mungkin kita akan terkejut!



* Hari ini saya menerima begitu banyak cinta, perhatian, doa. Dan itu sungguh keajaiban-keajaiban lain yang hadir dan menyapa saya. Ya Allah, ingatkan aku untuk bersyukur padamu....

Sebuah Kisah Tentang Kepercayaan dan Pengabaiannya

Dari NOTES facebook:

Ada sebuah kisah lain yang sangat saya ingat ketika duduk di bangku SMU. Kali ini kisah itu berkaitan dengan tanggung jawab dan menjaga kepercayaan. Kejadian pada tanggal 1 Februari 2001 itu adalah peristiwa paling dikenang saya dan kawan-kawan sekelas karena pada hari itu kami kehilangan hak istimewa.

Adapun kisahnya dimulai pada awal tahun ajaran, yaitu bulan Juli 2000. Itu adalah kali pertama sekaligus kali terakhir kami memperoleh seorang wali kelas yang memberikan hak istimewa kepada siswanya untuk makan di kelas dan juga berkeliling di dalam ruangan kelas pada saat jam pelajaran. Hak istimewa itu diberikan dengan beberapa syarat: tetap memperhatikan pelajaran, tidak membuat kelas menjadi kotor, dan tidak gaduh di dalam kelas.

Dengan hak istimewa itu, seorang kawan mendulang keuntungan dari sisi ekonomi. Dia berjualan keripik pedas yang kelak menjadi makanan favorit kami di kelas. Hanya saja kami tidak benar-benar bertanggung jawab dengan hak istimewa kami tersebut. Maka tragedi 1 Februari, begitu kami menyebut, terjadilah.

Sebelumnya saya beritahukan bahwa sekolah kami menerapkan sistem kelas berpindah. Jadi siswa yang berpindah, sementara guru biasanya memegang kelas tertentu. Wali kelas saya biasanya mengajar di kelas Matematika B.

Tanggal 1 Februari 2000 pagi menjelang siang di kelas Matematika B, ketika itu wali kelas kami mengajar kelas 2-5. Tidak seperti biasa, beliau meminta para siswanya untuk membersihkan kolong meja. Beliau menemukan hal yang mengejutkan dan membuat wajah beliau merah padam: kolong meja penuh dengan bungkus plastik keripik pedas. Tahulah beliau, bahwa siswa 3 IPA 4 yang diwalikannya yang bertanggung jawab akanhal tersebut.

Jam terakhir hari itu adalah jam Matematika. Kami tidak tahu akan mengahadapi amukan kemarahan dari wali kelas kami. Kami masuk dan segera tahu ada sesuatu yang tidak biasa. Dan benarlah, hari itu kepala kami hanya bisa tertunduk ketika beliau meluapkan kemarahannya.

Beliau berkata bahwa beliau sangat kecewa dengan apa yang telah kami perbuat. Adalah kami diberikan hak disetai dengan kewajiban yang ternyata kami abaikan. Beliau tidak menyangka bahwa hal itu dilakukan oleh siswa kelas unggulan. Beliau kecewa karena ternyata kami tidak bisa dibanggakan keunggulannya adalam menjaga kepercayaan yang diberikan. Maka hari itu keluarlah sebuah ultimatum yang sangat kami kenang, bahkan hingga saat ini.

“Mulai hari ini,” kata wali kelas kami itu, “saya melarang kalian makan di dalam kelas.”

Maka sejak hari itulah, kami tidak pernah lagi merasakan hak istimewa kami itu lagi. Adapun kelas lain yang diajar beliau, hak istimewa itu tetap berlaku. Sanksi adalah buat pelaku. Imbasnya juga terjadi buat keripik yang dijual teman saya itu. Penjualan yang bersangkutan menurun walau tidak terlalu parah. Bagaimanapun kripiknya telah menjadi favorit kami, sehingga kami tetap membelinya di luar jam pelajaran.

Setiap kali mengenang hal itu, saya tersenyum. Saya mendapat pelajaran berharga hari itu. Pelajaran bagaimana memelihara amanah. Ketika suatu kepercayaan dilanggar akan ada dampak yang lebih besar besar yang tidak menyenangkan. Buat diri sendiri, bahkan juga orang lain. Saya percaya bahwa teman-teman saya yang lain juga belajar hal yang luar biasa hari itu.

Tentang Kesalahan dan Amarah

Dari NOTES facebook:

Ada pelajaran lain yang tidak kalah berharga dari kisah yang saya sebutkan dalam notes sebelumnya (Pelajaran Tentang Harga Diri). Mungkin sudah bisa ditebak, hal ini berkaitan dengan menyikapi suatu kesalahan.

Kisah saya yang sebelumnya tentang penyontekan itu, membuat saya melihat dua sosok bijaksana. Mereka adalah guru kimia dan guru matematika saya. Respon mereka dalam menyikapi kecurangan salah seorang anak didiknya adalah sesuatu yang sangat luar biasa menurut saya. Kemarahan mereka tidak membuat mereka hilang akal. Saya melihat mereka sangat memahami makna mendidik. Merespon suatu kesalahan sepatutnya dalam rangka mendidik pula.

Saya akan mulai dari sesuatu yang saya pelajari dari guru kimia saya. Beliau adalah yang menyaksikan kesalahan kami. Buat saya, beliau berhak untuk memberikan hukuman atau menumpahkan kemarahan. Akan tetapi, beliau tidak melakukan hal tersebut dan malah meminta orang lain yang melakukan hal tersebut. Ini permasalahan moral yang perlu mendapat penanganan yang tepat. Beliau bukan tidak mampu melainkan akan lebih baik menyerahkan urusan kami kepada seseorang yang mungkin lebih didengar oleh kami. Beliau ingin mendidik kami.

Pelajaran berikutnya adalah dari guru matematika yang juga adalah wali kelas kami. Saya melihat, tanggung jawab beliau sebagai guru, pendidik, dan wali kelas bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Memadukan agar para siswa menjadi seseorang yang pandai sekaligus berakhlak bukan perkara mudah. Dan ketika permasalahan menyontek itu diserahkan kepadanya, beliau masih harus mempertimbangkan bahwa kami adalah seseorang yang sedang memperoleh pendidikan.

Beliau marah, karena beliau layak untuk marah. Beliau marah, karena beliau menyayangi kami. Beliau marah, tetapi bukan meghakimi orang tertentu. Beliau marah, tetapi tidak mempermalukan. Beliau marah, tetapi dengan proporsi: tegas juga lembut. Beliau marah, tetapi kami belajar sesuatu dari kemarahannya. Beliau marah, karena beliau menyayangi kami.

Saya menyadari bahwa ketergelinciran-ketergelinciran diri sendiri dan juga orang lain bisa diwujudkan dalam bermacam respon emosi. Seseorang bisa memilih marah membabi buta. Seseorang bisa memilih untuk mempermalukan orang lain. Seseorang bisa memilih membalas kesalahan orang lain dengan sesuatu yang lebih buruk. Seseorang bisa memilih untuk memberikan respon apapun dealam kemarahannya. Akan tetapi, saya belajar bahwa seseorang juga bisa memilih untuk menyikapi suatu kesalahan dengan memberikan suatu pengajaran. Kesalahan adalah gerbang bagi orang-orang yang mau belajar.

Belajar dan memberikan pengajaran atas sebuah kesalahan, siapa yang bersedia melakukan itu? Saya berdoa menjadi salah satunya.

Pelajaran Tentang Harga Diri

Dari NOTES facebook:

Saya teringat akan suatu pelajaran penting dalam hidup saya beberapa tahun yang lalu. Ketika itu saya masih duduk di bangku SMU. Demikian berpengaruhnya pelajaran itu dalam jiwa saya sehingga pengalaman ketika saya memperoleh pelajaran tersebut selalu menjadi jangkar saya untuk senantiasa mengoreksi diri, apakah saya berada pada track yang benar.

Suatu ketika saya dan teman-teman menghadapi ulangan harian untuk mata pelajaran Kimia. Kami mengerjakan sejumlah soal-soal yang cukup sulit ketika itu. Rupanya, tidak semua orang cukup bersabar untuk mengerjakan soal-soal tersebut. Salah seorang di antara kami menyontek ketika guru kimia kami keluar beberapa saat dari kelas. Ternyata hal itu dilihat oleh guru kimia kami tersebut dari jendela belakang ketika hendak kembali ke kelas.

Alih-alih memanggil anak tersebut, guru kimia saya memberi tahukan kejadian itu kepada wali kelas kami. Kami tidak tahu bahwa pada hari itu kami akan menghadapi kemarahan terbesar sepanjang sejarah belajar kami di sekolah tersebut.

Jam terakhir adalah jam Matematika. Wali kelas kami masuk dengan wajah masam dan kami segera merasakan atmosfer yang berbeda. Benar rupanya, wali kelas kami menumpahkan badai kemarahan kepada kami atas peristiwa penyontekan itu. Beliau bertanya kepada kami, di mana kami meletakkan harga diri.

Saya terperangah. Harga diri? Ini adalah suatu kosa kata yang kerap kali saya dengar namun saya tidak benar-benar paham akan artinya.

Beliau berkata, ”Apa yang kalian lakukan ini sama dengan menjual harga diri kalian layaknya barang dagangan di pasar Kebon Roek sana!

“Sepatutnya kalian menggantungkan kejujuran kalian setinggi bintang di langit.”

Beliau senantiasa memakai kata kalian kepada kami walaupun pelaku penyontekan itu hanya satu orang. Buat beliau, ini bukan tentang satu orang tersebut. Ini adalah tentang KAMI. Beliau merasa kecewa atas ketidakjujuran kami. Beliau merasa sedih atas sikap kami yang tidak bisa memberikan yang terbaik buat diri sendiri. Menyontek adalah kekalahan karena saat itu kejujuran dan harga diri terabaikan.

Siang itu, kami diam seribu bahasa. Semua bermain dengan pikiran masing-masing. Untuk kali pertama saya mulai mengerti tentang makna harga diri. Harga diri adalah tempat di mana saya memilih untuk menjadi sesuatu atau sesuatu yang lainnya.

Apakah saya memilih menjadi jujur atau berdusta!?
Apakah saya memilih amanah atau pengkhianatan!?
Apakah saya memilih kesabaran atau jalan pintas!?
Apakah saya memilih menjadi diri sendiri atau hidup dalam kendali orang lain!?
Apakah…
Apakah…
Apakah…
Apakah saya memilih sebagai seorang pemenang atau pecundang!?

Pengalaman hari itu masih berbekas luar biasa pada diri saya. Menurut saya, wali kelas kami telah bertindak bijaksana dengan tidak membuka aib kawan kami atau menghukum atau sekedar menasehati yang bersangkutan secara tertutup. Lebih dari itu beliau memberikan pelajaran berharga buat setiap anak didiknya. Sampai hari ini pun kami tidak pernah tahu siapa pelaku penyontekan itu. Buat kami itu tidak penting lagi.

Pelajaran itu senantiasa mengingatkan saya bagaimana harus bersikap apapun peran saya. Bukan untuk menjadi lebih dari orang lain, sebab standardisasi saya tidak tergantung standardisasi orang lain. Saya tidak berkompetisi dengan orang lain. Jauh lebih berat dari itu, saya bertarung. Bertarung dengan diri sendiri.

Ini adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga buat saya dan saya rasa cukup pantas untuk dibagi. Semoga bisa menjadi pelajaran juga buat siapapun yang membaca.

Sebuah Insight Tentang Doa

Dari NOTES facebook:

Suatu ketika saya mendapat sebuah insight tentang doa. Ini mungkin bukanlah tentang doa yang demikian hebatnya, sebaliknya ini adalah tentang doa yang sangat sederhana. Terlalu sederhana mungkin, bahkan untuk diceritakan.


Kepulangan saya bersama adik sepupu dari sholat tarawih dari rumah salah seorang ustadz adalah bagaimana kisah ini terkuak. Sepupu saya itu membonceng saya dengan motor tua menerobos pekat malam. Dalam perjalanan itu, kami melihat seorang pengendara sepeda berkendara dengan santai. Kami mengenalinya. Dia adalah sahabat kami yang sangat baik dari acara pengajian yang biasa kami hadiri. Adik saya memberi tanda kepada sahabat itu dengan bunyi klakson. Sepatutnya kami menutur salam sebagaimana adab, tetapi kondisi kami di jalan raya membuat kami hanya bisa memberi tanda dengan klakson. Dan kami berlalu mendahului sahabat itu.

“Tahu nggak Dae Ilham?” Sepupu saya bergumam samar di antara deru ringkih motor yang kami kendarai.

“Tahu apa?”

“Doanya Fulan (sahabat kami itu) dikabulkan.”

“Kok tahu?”

“Dia pernah berdoa agar diberikan sepeda supaya bisa lebih rajin pergi ke pengajian.”

Saya teringat cerita serupa dari seorang kawan pengajian yang bertandang ke rumah saya beberapa hari sebelumnya tentang seseorang kawannya yang diberikan kemudahan menuntut ilmu agama dengan sepedanya yang tidak lain adalah buah dari doanya. Saya akhirnya menyimpulkan bahwa kisah kawan itu tidak lain adalah kisah tentang Fulan.

Fulan dahulunya adalah seorang remaja laki-laki pada umumnya di daerah saya. Pertarungan menemukan jati diri telah mengantarkan dirinya menjadi preman kampung. Hari-harinya dihabiskan dengan berkumpul bersama kawan-kawannya, merokok, dan melakukan hal-hal kontraproduktif.

Sungguh Allah telah menetapkan dia memperoleh hidayah. Dia mulai mengikuti kajian-kajian ilmu dan menyadari apa yang dilakukannya selama ini ternyata keliru. Perubahan besar terjadi, dia mulai meninggalkan rokoknya dan bekerja walau sekedar serabutan sebagai kuli bangunan.

Semangatnya yang menggebu untuk mencari pehaman agama yang benar juga untuk memenuhi kebutuhan hidup dibatasi oleh fasilitas yang serba kurang. Setiap hari dia mesti berjalan kaki untuk ke tempat kerja. Juga untuk pergi ke pengajian, dia harus menempuh beberapa kilometer. Kadang-kadang dia beruntung dibonceng oleh kawannya yang memiliki motor dan menuju tempat yang sejalur.

Kondisi tersebut membuatnya berdoa agar Allah berkenan memberikannya sepeda. Dia cuma meminta sepeda agar lebih bersemangat dalam menggapai faidah ilmu agama. Dia tidak meminta motor karena khawatir justru terjerumus pada hal-hal yang justru kurang baik, seperti ngebut-ngebutan atau pergi ke tempat-tempat yang kurang pantas.

Dan kami melihat ALlah mengabulkan doa Fulan. Beberapa waktu berselang, dia memperoleh sepeda dari seseorang. Saya lupa, apakah sepeda itu diperolehnya sebagai hadiah atau dibelinya dengan harga yang sangat murah sehingga tidak ada rasa berat dari sisi ekonomi ketika dia memperoleh sepeda itu. Dan yang saya saksikan bahwa Fulan memenuhi janjinya. Sepeda itu dipakainya untuk pergi bekerja dan ke pengajian saja. Dia pun telah bertransformasi menjadi seseorang yang demikian lemah lembut, santun, dan low profile. Sungguh, saya tidak melihat ada sisa-sisa dari masa lalunya yang dikenal sebagai preman kampung.

Mengingat itu semua, saya hanya bisa terpekur dalam perjalanan pulang tarawih malam itu. Sebuah doa sederhana yang ditujukan hanya untuk menambah ketaatan kepada Rabb semesta alam, adakah yang lebih syahdu dari hal ini? SubhanaLlah, ALlahu akbar…. Saya iri!

Romadhon Punya Cerita

Dari NOTES facebook:

Romadhon lalu meninggalkan bermacam pengalaman buat saya. Saya mengalami menjalani hari-hari Romadhon di sejumlah tempat: Lombok, Bandung, Malang, Bima, dan sebagian kecilnya di dalam perjalanan menuju tempat-tempat tersebut.

Sepuluh hari pertama saya lalui di tanah kelahiran saya di Lombok. Pengalaman paling berkesan dari hari-hari awal romadhon adalah sholat tarawih. Pada dasarnya sholat tarawih yang saya ikuti ini sama saja dengan sholat tarawih-sholat tarawih lain di masjid-masjid, perbedaannya adalah pada imamnya. Sang imam adalah seseorang yang sangat belia, saya menaksir usianya sekitar tiga belas atau empat belas tahun. SubhanaLlah, saya terkesima…. Bukan saja oleh sang imam tetapi juga oleh penerimaan takzim para makmum kepada imam muda itu. Seketika itu, saya merasa mencintai imam kecil itu, karena saya bisa merasakan keikhlasannya. Kefakihan, kealiman, dan bahkan kepemimpinan memang sepatutnya diukur dari ilmu, bukan usia.

Enam hari berikutnya saya habiskan di kota Bandung karena ada beberapa hal yang perlu diurus dengan sejumlah dosen. Bandung, saya selalu mencintai kota ini! Di sini saya senantiasa merasakan hangatnya persahabatan. Saya juga menjadi dari sekian orang yang merasakan gempa Tasikmalaya. SubhanaLlah, pengalaman gempa kedua kali ini saya masih saja terkesima. Ketika gempa itu terjadi, saya tidak segera keluar dari kamar kost dan malah berpikir ketika itu. “Betapa getaran gempa ini bisa bermakna maut namun persiapan apa ketika maut itu benar-benar datang menghampiri saya.” Saya tahu, respon saya menghadapi potensi bencana ketika itu keliru, tetapi dorongan saya untuk berpikir demikian kuat ketika itu.

Sehari sebelum meninggalkan Bandung, hari Jum’at menjelang sholat ashar, saya dimintai tolong oleh TU Fakultas untuk mencari seorang mahasiswa (junior) yang nyaris DO. Ini adalah tahun terakhirnya. Saya berpikir, “ah, mengapa saya yang mesti dimintai tolong?” Waktu demikian sempit buat saya untuk bisa menemukan mahasiswa tersebut dan saya sudah harus pulang keesokan harinya. Pun Sabtu, kegiatan akademik libur.

Kasus junior saya ini begitu aneh. Dia nyaris DO padahal memiliki IPK tertinggi di angkatannya! Teman seangkatannya sudah menyerah untuk mengingatkan dia. Para dosen juga diabaikannya. Insting saya membawa saya ke asrama tempat tinggalnya. AlhamduliLlah saya bertemu dengannya. Biasanya orang sulit bertemu dia. Saya merasa beruntung. Akhirnya saya ngobrol dengan dia dan mengajak dia segera ke kampus. Tidak biasanya, saya berbicara dengan determinasi yang lebih dalam daripada biasanya. Hari itu juga saya ajak dia bertemu pembimbing, staf TU, dan Kepala Prodi. Ternyata dia cuma punya waktu lima hari efektif untuk menyelesaikan tugas akhirnya karena dosen pembimbingnya sudah tidak di Bandung di akhir pekan berikutnya. Yang lebih ajaib, dia minta topic baru. Memang topik baru yang dia minta lebih mudah dari topik sebelumnya, tetapi buat saya itu seperti tawaran bunuh diri secara sukarela. Saya tidak habis pikir. Tetapi saya hanya diam karena merasa tugas saya cuma membuka jalan untuk bisa menyelesaikan studinya dan bukan untuk mengatur harus begini atau begitu. Pilihan ada di tangannya. Saya Cuma menghubungi beberapa teman di program studi untuk bisa memantau ybs. Saya tidak tahu apakah dia berhasil atau tidak dengan kondisi yang demikian mencekik, sampai beberapa hari lalu saya mendapat informasi dia bisa diwisuda Oktober ini. ALlahu akbar… saya merasa beruntung mengambil kesempatan untuk bisa mendukung seseorang walaupun hanya tiga jam saja. Berita wisuda junior saya itu menjungkalkan perasaan saya akan kemusykilan kasusnya. Saya diingatkan kembali untuk jangan pernah berhenti berjuang ataupun memberi dukungan walaupun perjuangan dan dukungan itu secara kasat mata adalah sesuatu yang mustahil.

Dari Bandung, saya menuju Malang. Saya di sana selama empat hari. Saya menjenguk kakak laki-laki dari ibu saya. Beliau sudah sangat sepuh, menjelang sembilanpuluhan. Di awal romadhon beliau mendapat stroke ringan. Saya mendapat kabar bahwa ketika serangan stroke itu datang, setengah bagian tubuh beliau tidak bisa bergerak dan tidak mampu berbicara. AlhamduliLlah, penanganan yang cepat bisa meredam serangan itu. Ketika saya datang, beliau sudah mampu berjalan dan berbicara. Belia bahkan pergi ke rumah temannya dengan berjalan kaki. Beliau juga sudah mulai menasihati saya juga bercerita tentang kisah masa mudanya. Saya menikmati cerita-cerita dan nasihat beliau karena saya merasa punya cukup banyak waktu untuk mendengar beliau. Saya merasa bahwa didengarkan telah menjadi kebutuhan yang makin penting di usia senja beliau, tetapi sayang kebutuhan itu tidak selalu bisa terpenuhi. Ada seberkas rasa sedih dalam hati saya… Ini membuat saya teringat dengan ibu yang kini juga makin terlihat jejak-jejak usia tuanya.

Empat hari berikutnya saya kembali ke Lombok. Sahabat-sahabat lama saya sudah mulai mudik. Senang rasanya bertemu mereka. Menarik melihat bahwa delapan tahun telah membentuk manusia-manusia yang berbeda. Perbedaan nilai dan cara pandang adalah yang membuat mereka kini berbeda. Mereka menjadi lebih dewasa, penuh pertimbangan, dan menghidupkan suasana dengan kelakar-kelakar yang juga berbeda dengan apa yang ada pada masa SMU dulu. Saya berpikir! Di manakah saya? Apakah saya juga telah menjadi orang lain? Ah, perubahan memang suatu keniscayaan, bukan? Akan tetapi, bagaimanapun, saya mencintai mereka.

Empat hari kemudian saya berada di Bima, tanah kelahiran orang tua. Di sini saya mengalami berbagai pengalaman yang sangat menyenangkan. Saya merasa menjadi anak-anak kembali karena melakukan banyak hal yang berbeda. Di sini saya ikut memanen kedelai, membuat garam, melihat tambak yang sedang paceklik karena air menjadi pahit (terlalu asin), mengambil bebek (untuk dimakan malam harinya), mencari mangga malam hari untuk dibuat rujak (yang membuat sakit perut keesokan harinya), dan bercerita tentang teknologi pesawat. Semua itu saya lakukan bersama dengan anak-anak yang usianya jauh di bawah saya. Keceriaan, rasa ingin tahu, antusiasme anak-anak memang senantiasa membuat saya merasa lebih hidup dan penuh imajinasi.

O iya, dalam perjalanan dari kota Bima ke kampung ayah dan ibu saya, ada suatu pemandangan menarik. Dalam bis sesak yang kami tumpangi, bukan pedagang asongan atau pengamen yang saya lihat, melainkan wanita-wanita penjaja ikan bandeng. Ikan-ikan itu ditawarkan dalam piring-piring kaleng seharga sepuluh ribu rupiah di dalam bis. Alhasil pengap ruang bis bercampur juga dengan amis ikan. Coba tebak, berapa ikan yang bisa diperoleh dengan sepuluh ribu rupiah? Satu piring yang dijajakan terdiri dari empat atau lima ekor ikan seukuran lebih kurang 20-25 cm. Murah ya…

Sepanjang perjalanan itu juga, saya melihat bukit-bukit kecil berwarna putih berkilau di atas petak-petak tanah. Itu adalah garam yang siap dipanen. Garam tersebut dipasarkan dalam karung-karung berwarna biru tua. Harga garam itu hanya lima ribu rupiah. Suatu kali, bersama bibi saya, kami meminta garam sekantong plastik besar pada seorang petani garam. Gratis!!!

Di sana pula saya melihat penambang pasir di muara sungai yang kulitnya tidak lagi legam melainkan berwarna tembaga. Mungkin karena panas matahari telah menempa kulit itu selama bertahun-tahun. Saya juga menyaksikan kapal kecil yang dibongkar-muat. Produk-produk lokal pulau-pulau sekitar, semisal kelapa ,kopi, dan pisang, memang kerap diturunkan di muara sungai desa kami itu. Saya diceritakan bahwa kerap kali kapal-kapal kecil itu datang dari Flores atau Sumba. Kesannya memang seperti pelabuhan ilegal.

Di Bima juga, saya melihat elang-elang laut yang berwarna putih yang makin jarang populasinya. Saya juga diberitahu bahwa alam telah banyak berubah. Saya diceritakan bahwa dahulu teripang-teripang seukuran betis orang dewasa banyak ditemui di bibir pantai dan bahkan masuk ke pematang-pematang tambak. Demikian juga sejenis rumput laut yang hidup di air payau dan beberapa jenis molusca layak konsumsi sudah tidak terlihat lagi di pantai itu. Pengolahan lahan tambak memang tidak seperti dahulu yang serba tradisional. Banyaknya pemakaian obat di tambak-tambak tersebut mungkin telah menggerus keseimbangan ekosistem di sana. Sayang…

Hari ke-29 Romadhon, saya sudah kembali berada di Mataram dengan membawa sisa lelah dan tanda tanya. Apakah ini adalah hari terakhir romadhon atau masih harus berpuasa sehari lagi keesokan harinya. Ternyata hari itu adalah hari terakhir puasa. Dan keesokan hari, ied kami dianugerahi hujan deras! AlhamduliLlah.

Menulis Lagi

Setelah beberap tulisan ditampilkan melalui NOTES facebook, akhirnya memutuskan untuk menulis di blog ini lagi.

Sayang kalau ditinggalkan.

Untuk awalnya, beberapa tulisan di NOTES facebook saya tampilkan lagi dalam posts berikut setelah ini.

6.23.2009

Cahaya yang Menyesatkan

Sangat menarik melihat perilaku serangga malam yang biasa berputar-putar di sekitar lampu yang menyala. Ketika duduk di bangku smp dahulu, saya baru tahu bahwa serangga itu berputar-putar bukan karena tertarik pada cahaya lampu tersebut melainkan tersesat olehnya.

Dalam ranah metafora, fenomena itu terjadi juga pada manusia. Banyak yang tersesat oleh cahaya atau bahkan terbutakan.

Saya pikir terkadang memang bukan kegelapan pekat yang menyesatkan melainkan oleh cahaya-cahaya artifisial yang melenakan.

6.21.2009

Kepedulian

Akhirnya banyak hal yang tersampaikan semalam kepada seorang teman. Saya katakan tersampaikan karena semua terjadi secara tidak sengaja, kecuali pertemuan yang memang saya niatkan. Ya, saya memberi feedback pada sahabat itu.

Akan tetapi, saya bingung (atau lebih tepat takjub). Dari mana semua tutur itu bersumber?
Kata seorang sahabat yang lain, sumbernya adalah KEPEDULIAN.

6.18.2009

Pulang

Saya menanti Juli.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari bulan tersebut. Saya cuma ingin pulang.

Ingin menghirup aroma rumah yang pekat dengan dongeng; harfiah maupun metafora! Dan rindu bertemu dengan setiap pendongengnya.

4.11.2009

Tulisan ke Seratus

Menulis?
Ini tulisan yang ke seratus di blog ini!
Terus terang berat memulai lagi setelah 'badai' menguras sebagian besar energi saya.
Saya ingin beristirahat sejenak dalam masa tenang ini.

[ Sebenarnya masa tenang ini teralau tenang, sehingga saya bingung bagaimana harus merasa saat badai berlalu. Dan, mungkin, ini yang membuat saya enggan! ]

[ Ingin lebih 'saya' di tulisan ke seratus satu! ]

3.10.2009

Refleksi Jum'at: Persaudaraan Umat Islam?

"Sesungguhnya (hanyalah) orang-orang mu’min itu bersaudara”. (QS. Al-Hujuraat :10)

Ini adalah sebuah pernyataan yang jelas dari Allah bahwa orang-orang yang beriman adalah saudara. Mereka dipersaudaraakan oleh ikatan yang demikian kuat, yaitu keimanan kepada Allah. Maka apa yang membuat realita cenderung berkebalikan dari firman Allah ini? Bukankah banyak saudara-saudara yang muslim dan sedarah berseteru akibat warisan? Atau mereka yang menjadi bermusuhan karena berbeda partai?

Kondisi yang terjadi di masyakat saat ini menunjukkan bahwa persaudaraan antar umat muslim berada di titik kritis. Dan satu hal yang dipertanyakan dari kondisi ini adalah bagaimana sesungguhnya keimanan kita?

Ayat di atas sangat jelas menerangkan bahwa persaudaraan itu adalah milik orang-orang beriman. Maka di manakah keimanan kita ketika tiada dalam hati terbersit rasa persaudaraan itu?

Maka sesungguhnya boleh jadi ini disebabkan oleh semakin jauhnya umat islam dari islam itu sendiri. Pengajian-pengajian yang beberapa tahun lalu marak telah kehilangan cahayanya. Kebanyakan manusia memilih untuk menghabiskan waktunya dalam kesibukan dan kesenangan dunia. Dahulu pada pagi hari setelah subuh, di setiap rumah bisa dipastikan terdengar ceramah subuh baik yang disiarkan televisi atau radio, dan sekarang yang terjadi kebanyakan tertidur atau bahkan menonton acara gosip.

Fenomena kesyirikan yang begitu luas juga melanda. Kisah Ponari dan batu bertuahnya menunjukkan betapa lemahnya iman bangsa ini. Banyak manusia telah lupa siapa sesungghnya yang memberi manfaat dan mendatangkan mudhorot. Allah ditinggalkan demi memburu tuah benda yang sangat rendah. Naudzubillah...

Kondisi rawan persaudaraan muslim ini tampaknya akan semakin sengit di masa menjelang pemilihan umum ini. Dalam sebuah keluarga bisa jadi ada beberapa simpatisan partai/caleg dan ini anehnya membuat hubungan keluarga menjadi renggang. Anak bisa berdebat kasar dengan ayahnya berbeda partai. Suami dan istri bisa saling mendiamkan karena berbeda calon presiden. Belum lagi di luar, ketika para simpatisan partai atau caleg yang satu membuat kerusakan pada media kampanye partai atau caleg yang lain. Kampanye tidak saja menjadi ajang berboros-boros partai atau caleg, tetapi juga membuka gerbang permusuhan yang kian melebar di kalangan bawah. Dan para petinggi partai/caleg masih belum bisa melakukan kampanye yang cerdas untuk menunjukkan kualitasnya sekaligus bisa meredam permusuhan di kalangan akar rumput.

Maka, akankah kita terjebak?
Sekali lagi, kita masih bersaudara 'kan?

Wallahu a'lam bi ash-showab

(Dari khutbah Jum'at pekan lalu)

Refleksi Jum'at: Amalan dan Balasannya

“Dan jika kamu berbuat kebaikan, maka kamu berbuat kebaikan untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka kamu sendiri yang akan menderita”. (QS. Al-Isra: 7)
Pada suatu ketika, ada seorang tukang kayu yang sangat rajin. Hal tersebut menyebabkan sang majikan di perusahaan tempat dia bekerja sangat menyayangi dan mempercayainya. Waktu berganti waktu, hingga ketika si tukang kayu merasa sudah saatnya untuk menikmati hari tua, dia meminta ijin pada sang majikan untuk berhenti. Sang majikan berkeras untuk menahan si tukang kayu. Akan tetapi tukang kayu itu tidak kalah berkeras untuk berhenti. Maka pada akhirnya sang majikan mengijinkan dengan satu syarat: tukang kayu itu harus membuat rumah buat sang majikan sebagai pekerjaan terakhir buat sang majikan. Akhirnya si tukang kayu setuju.

Tukang kayu tersebut mengerjakan tugas terakhirnya. Akan tetapi, berbeda dengan sebelumnya, ia mengerjakan tugasnya dengan setengah hati. Pikirannya selalu melayang pada masa tua yang sebentar lagi akan dinikmatinya. Akhirnya rumah tersebut selesai, tetapi dengan kualitas yang tidak istimewa. Dia segera menemui sang majikan dan menyampaikan bahwa ia sudah menyelesaikan pekerjaannya. Sang majikan berkata, "Rumah itu untuk kamu sebagai balasan kerja keras kamu selama ini." Maka alangkah menyesalnya tukang kayu tersebut ketika menyadari apa yang dikerjakannya tadi sejatinya adalah untuk dirinya sendiri. Ia berangan-angan seandainya pekerjaan membangun rumah tadi dia lakukan dengan sungguh-sungguh maka ia akan memperoleh sesuatu yang jauh lebih baik dari apa yang diperolehnya saat ini.

Ilustrasi di atas pada dasarnya mirip dengan apa yang disampaikan oleh allah lewat perkataanNya seperti yang telah dikutipkan pada awal tulisan ini. Sejatinya, balasan kebaikan akan kembali pada siapa yang melakukan kebaikan tersebut. Demikian pula sebaliknya, hasil dari kejahatan akan kembali pada pelakunya. Satu hal yang berbeda dari kisah di atas, Allah telah memberi gambaran jelas bahwa kebaikan bermuara pada balasan ini dan itu dalam banyak ayat-ayatNya. Sayangnya banyak manusia yang masih luput membaca dan mengetahui hal ini karena enggan untuk membaca ayat-ayat Allah.

Lalu kebaikan-kebaikan apa yang bisa mengantarkan seseorang memperoleh balasan yang baik? Jawabannya bisa dirangkum menjadi tiga poin utama, yaitu:
  • Membersihkan akidah
    Kejahatan terbesar di muka bumi adalah syirik kepada Allah. Sayangnya justru hal ini yang marak terjadi di muka bumi. Seseorang bisa menyatakan keprihatinannya ketika darah dialirkan, tetapi tidak untuk fenomena-fenomena kesyirikan. Salah satu contoh paling nyata adalah fenomena Ponari dan batu bertuahnya. Bukankah ini sama saja dengan yang terjadi di jaman nabi-nabi dahulu ketika orang-orang menyembah batu?

    Maka kebaikan yang perlu diciptakan seorang muslim adalah membersihkan kesyirikan. Bukankah Allah telah berfirman tentang besarnya dosa syirik?
    “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’ : 48, 116)
  • Memperbaiki kualitas ibadah
    Sesungguhnya diterimanya ibadah dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu ikhlas dan sesuai dengan petunjuk rasulullah. Maka sangat penting pengetahuan dalam hal beribadah ini.
  • Menyempurnakan akhlak
    Allah berfirman:
    "Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) berada pada akhlaq yang agung " (Q.S Al-Qolam: 4)
    Sungguh pada diri raulullah saw. ini terdapat suri tauladan. Sepatutnya seorang yang beriman mencontoh beliau dalam perkara akhlak ini karena tiada lain apa yang ditunujukkan rasulullah saw. tidak lain adalah cerminan Al-Quran jua. Aisyah mendiskripsikan Rasulullah SAW sebagai Al Qur`an berjalan:
    "Akhlak Rasulullah SAW adalah Al Qur`an." (H.R.Bukhari)
Wallahu a'lam bi ash-showab

(Dari khutbah Jum'at dua pekan lalu)

Refleksi Pengajian Siaware: Menuntut Ilmu

"Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beranekan macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya, dan ada (pula) yang hitam pekat.
"Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata, dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesunnguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha pengampun.
"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tiada merugi,
"Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha mensyukuri."
(QS. Fathir: 27-30)
Ilmu memegang peranan penting dalam beragama. Mengapa? Karena ilmu menjadi landasan penting dalam beragama. Akan tetapi sebelum membahas lebih jauh soal peranan ilmu ini, perlu diketahui apa sesungguhnya ilmu itu.

Berilmu didefinisikan sebagai mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaannya. Ilmu yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadits maka itu disandarkan pada ilmu agama atau syar'i. Imam Syafi'i menyatakan bahwa ilmu (syar'i) adalah setiap ilmu yang berdasarkan firman Allah dan sunnah RasuluLlah.

Adapun hukum menuntut ilmu (syar'i) adalah wajib sesuai dengan keadaannya. Adapun maksud wajib sesuai keadaan ini adalah bahwasanya kewajiban itu tergantung kondisinya. Ada ilmu yang mutlak seluruh umat Islam mengetahuinya semisal tatacara thoharoh, beribadah, membaca Al-Qur'an denga benar. Ada pula ilmu yang cukup diketahui sebagian saja semisal ilmu tafsir dan ilmu hadits. Pentingnya berilmu atau menuntut ilmu tertera dalam hadits Rasulullah:
"Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam" (Riwayat Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Adi, dari Anas bin Malik)

Dalam hal ilmu ini, manusia dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
  1. Ahlul 'Ilmi/Ulama, yaitu seseorang yang dapat mengambil kesimpulan dari ilmu yang dimilikinya.
  2. Tholib, yaitu seseorang yang mengkhususkan untuk mencari ilmu.
  3. Ammatul Ummah, yaitu orang awam yang baginya tetap terkena kewajiban menuntut ilmu. Golongan awam ini sendiri punya kriteria minimal yang mesti dipenuhi. Syaikh Bin Baz menulis sebuah kitab yang berisi hal-hal minimal yang perlu diketahui seorang muslim, di antaranya memahami Al Fatihah dan surat-surat pendek (juz 'amma), sampai pada penyelenggaraan jenazah. Kitab tersebut berjudul Dursu Al Awwal Li-awaami Al Ummah.

Kembali pada pembahasan peranan ilmu, maka apakah keutamaan dari ilmu (syar'i) itu? Insya Allah, jawabannya sangat banyak sekali, antara lain sebagai berikut:

  1. Ilmu merupakan amal jariyah. RasuluLlah bersabda:
    “Apabila anak adam mati, maka terputuslah segala amal kecuali tiga perkara ; Shadaqoh jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang senantiasa mendoakan orang tuanya ”. (H.R Muslim)
    Pada hadits tersebut shodaqoh jariyah dibedakan dengan ilmu yang bermanfaat, maka pembedaan tersebut menunjukkan keutamaan ilmu karena sesungguhnya amal jariyah yang paling jelas adalah mengamalkan ilmu. Seseorang melakukan suatu amalan berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Tentu saja ilmu tersebut akan menjadi amal kebaikan yang menghasilkan pahala jika disertai niat serta tujuan dari pengamalan ilmu tersebut.
  2. Ilmu merupakan landasan dalam beramal. Seperti yang telang diungkapkan sebelumnya, bahwa landasan dalam beramal adalah ilmu selain ikhlas. Suatu amal diterima oleh Allah disebabkan oleh terpenuhinya dua syarat yaitu ikhlas dan sesuai dengan petunjuk RasuluLlah bagaimana amal tersebut dilakukan. RasuluLlah bersabda:
    "Barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan kami ini yang bukan berasal dari kami, maka dia tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim, dari 'Aisyah ra.)
  3. Menuntut ilmu adalah saudaranya jihad. Seperti yang diketahui bahwa jihad merupakan salah satu amalan agung. Disandingkannya menutut ilmu dengan jihad menunjukkan kemuliaan ilmu. Allah berfirman:
    "Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama mereka dan untuk memberperingatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya." (QS. At-Taubah:122)
    Orang-orang yang menuntut ilmu memiliki peran penting dalam hal memelihara, menjaga, menumbuhkan, mengaplikasikan dan mendakwahkan ilmu yang dipelajarinya sehingga ajaran agama tetap lestari, insyaAllah.
  4. Ilmu merupakan makanan jiwa.
  5. Meminta tambahan ilmu adalah sesuatu yang diperintahkan Allah kepada rasulNya. Allah berfirman:
    ".... Ya Allah, tambahkanlah ilmu kepadaku." (QS. Thoha:114)
  6. Ilmu merupakan jalan menuju surga. Rasululah bersabda:
    ".... Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya." (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, dari Shahabat Abu Hurairah ra.)
  7. Ilmu adalah sesuatu yang seseorang boleh merasa iri terhadap pemiliknya. Rasululah bersabda:
    "Tidak boleh iri kecuali dalam dua hal ; seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu dia habiskan hartanya itu untuk membelakan kebenaran, dan seseorang yang diberi ilmu oleh Allah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya." (H.R Bukhari)
  8. Ilmu yang diamalkan tidak akan berkurang, bahkan sebaliknya akan terus bertambah. Hal ini sebenarnya berlaku untuk segala jenis ilmu. Mengajarkan ilmu akan mendorong seseorang untuk mengulang-ngulang apa yang diketahuinya sehingga pemahamannya akan semakin dalam dan mantap.
  9. Allah menyertakan persaksianNya bersama para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Allah berfirman:
    "Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, (demikian pula) para malaikat dan orang-orang yang berilmu yang menegakkan keadilan. Tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana." (QS. Ali 'Imran: 18)
  10. Ahli ilmu adalah mereka yang takut kepada Allah. Hal ini tertera pada ayat di awal tulisan ini. Adapun orang-orang yang takut kepada Allah itulah sebaik-baik manusia dan Allah akan membalas mereka dengan balasan yang sebaik-baiknya pula. Allah berfirman:
    "Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali Imran: 133)
    "Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasulNya. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehedaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Hadid: 21)
    "Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan, imereka itu adalah sebaik-baik makhluk.
    "Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya."
    (QS. Al-Bayyinah: 7-8)
    Dari poin ini dapat disimpulkan bahwa ahli ilmu bukanlah diukur dari banyak sedikitnya ilmu yang dimiliki melainkan bagaimana dampak ilmu itu terhadap sikapnya, yaitu rasa takutnya kepada Allah. Rasa takut ini yang mendorong seseorang yang beriman melaksankan amal kebajikan.
  11. Para ahli ilmu atau ulama adalah pewaris para nabi. Rasululah bersabda:
    “Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, yang mereka wariskan hanyalah Ilmu, maka barang siapa yang telah mengambilnya , maka ia mengambil bagian yang banyak” (H.R Abu Dawud)
  12. Orang-orang yang berilmu adalah manusia terbaik. Allah berfirman:
    “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan menegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran : 110)
  13. Ulama adalah 'ulil amri yang perlu ditaati sebagaimana tertera dalam QS. An-Nisa: 59, terutama ketika tidak adanya pemimpin formal muslim.
    “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu ” (Q.S An-Nisa : 59)
  14. Malaikat membentangkan sayapnya pada majelis ilmu.
  15. Penuntut ilmu dijauhkan dari laknat dan murka Allah.
  16. dll.
Mengingat pentingnya ilmu, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka sepatutnya kita berbondong-bondong, berlomba-lomba, mengejar untuk memperoleh ilmu. Sejumlah sarana yang dapat dimanfaatkan antara lain dengan menghadiri majelis-majelis ilmu, membaca kitab-kitab atau tulisan-tulisan keagamaan, mendengar ceramah-ceramah ilmu (kaset, televisi, radio, internet), dan bertanya pada ahli ilmu.

“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan menjadikan
faham tentang agama-Nya”
(H.R Al-Bukhari)
Wallahu a'lam bi ash-showab

2.28.2009

...

Menahan diri!

Menahan diri?
Berkompromi dengan berbagai ketidaksempurnaan!
Bertarung melawan diri sendiri.
Ini pertarungan antara nafsu, pemikiran,
dan HATI.

Menahan diri?!
Sebuah issue pribadi yang saya hadapi. Mungkin untuk sepanjang sisa usia. Tetapi ini, menurut saya, membuat saya merasa sempurna.

Tidak mudah!
Sering kali saya tergelincir. Akan tetapi, saya tidak ragu untuk mencoba lagi. Dan sekali lagi!

Dipertanyakan?
Sepertinya demikian!
"Siapa sih kamu sebenarnya?"

Atau oleh manusia malah dicap ini dan itu dalam bisik hatinya?
Mungkin!
"Saya rasa kamu ga' jadi diri sendiri!"
"Coba deh, jangan berlagak suci!"

Lalu, bagaimana?
Mengikhlaskan!
Ah..., ini perkara lain yang lebih besar. Tetapi bukankah tiada hal selain kebaikan dari perkara ikhlas ini?!
Ada Dia Yang Mahatahu, sehingga penilaian saya dan manusia lain menjadi remehlah sudah. AlhamduliLlah.

Biarkan saya ...!

2.20.2009

Cita-cita?

Dalam sebuah pelajaran Bahasa Indonesia waktu kelas dua SMA dahulu, guru kami menyuruh kami membuat sebuah karangan tentang cita-cita. Setiap karangan tersebut kemudian dibacakan di depan kelas oleh pengarangnya.

Satu yang membuat saya terkesan adalah karangan seorang kawan perempuan. Dia bercita-cita menjadi ibu.

Saat itu saya bertanya dalam hati,
"Adakah dari laki-laki yang cukup sadar bercita-cita menjadi seorang ayah?
"Adakah dari kami yang menjadikan "status ayah" benar-benar sebagai cita-cita, bukan sekedar sebagai sandaran yang akhirnya hadir dengan kelahiran buah hati?"

Mental Pemimpin Bangsa?

Dikutip dari seorang tukang pangkas rambut pinggir jalan saat saya bercukur beberapa hari yang lalu.
"Saya paling benci dengan orang-orang yang pernah jadi pemimpin dan ketika dia sudah tidak menjabat lagi yang dilakukannya adalah menjelekkan pemimpin yang berkuasa sekarang.

"Kalau mereka lebih baik, mengapa tidak melakukan hal-hal yang dilakukan pemimpin sekarang?

"Kalau mereka merasa ada yang salah dengan pemimpin sekarang, mengapa tidak memberikan saran dan malah menjelek-jelekkan?"

Hmmm.... Feedback buat para (calon) pemimpin bangsa!

Refleksi Jum'at : Kebenaran

"Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu." (QS. Al-Baqarah: 147)

Kebenaran! Apa itu kebenaran?

Itu adalah pertanyaan yang terlontar dalam khutbah Jum'at pekan ini. Ayat tersebut dengan lugas menjawab bahwa kebenaran adalah sesuatu (jalan lurus) yang diturunkan Allah buat hamba-hamba-Nya. Ya, sesederhana itu! Dengan demikian terdapat sebuah kaidah bahwa realitas bukanlah kebenaran.

Realitas boleh jadi bertentangan dengan kebenaran. Hal tersebut bisa dibuktikan dari hal-hal sederhana di sekeliling kita. Sebagia contoh adalah pergaulan muda-mudi. Pergaulan yang digandrungi sebagian besar pemuda saat ini kerap telah melanggar batas-batas agama. Akan tetapi berbagai pembenaran muncul untuk mengesahkan hal tersebut. Namun pertanyaannya adalah, apakah berbagai pembenaran itu adalah kebenaran?

Juga para koruptor, apapun alasan dia melakukakan korupsi, apakah korupsi itu kebenaran?

Atau para pelajar, apakah segudang alasan menyontek membuat perbuatan itu menjadi sebuah kebenaran?

Hal-hal tersebut mungkin cukup ekstrim sehingga sebagian dari kita menjawab bahwa hal-hal yang dicontohkan tersebut bukanlah kebenaran. Tetapi banyak hal-hal lain yang kini menjadi abu-abu. Hal-hal yang terlarang oleh agama seolah dipertanyakan kebenarannya karena paham yang berkembang di masyarakat justru berlawanan.

Sebuah pemikiran yang menyesatkan yang sering singgah di telinga adalah, bahwa segala hal relatif, maka tidak bisa satu hal dikatakan sebagai suatu kebenaran yang absolut. Padahal kebenaran, sekali lagi, adalah milik Allah. Allah berfirman:

"Jika kamu berselisih pendapat maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul-Nya (Sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa: 59)

Satu hal yang patut disadari adalah pertarungan antara kebenaran dan kebatilan merupakan suatu keniscayaan. Lalu siap yang menang dari pertarungan itu? Ada yang menjawab kebenaran yang menang. Yang lain menjawab, belum tentu.

Kenyataannya, sering kali kebenaran memang bukanlah yang menang. Pada dasarnya hasil dari peperangan antara kebenaran dan kebatilan tidak lain disebabkan oleh kecenderungan manusia terhadap kebenaran atau kebatilan tersebut. Dalam skala yang lebih luas hasil pertarungan itu boleh jadi ditentukan oleh bagaimana pilihan dari sebagian besar manusia memilih tentang kebenaran dan kebatilan tersebut.

Pertanyaan:
Apa yang kita pilih, ketika yang terjadi adalah kemenangan bagi kebatilan?
Apakah ikut dalam kebatilan tersebut?
Ataukah tetap memilih kebenaran dengan risiko menjadi pihak yang kalah?

Maka jawaban dari pertanyaan tersebut sesungguhnya bermuara pada keyakinan. Kemenangan yang nyata adalah bagi mereka yang memegang kebenaran sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam banyak ayatNya. Kemenangan dan kekalahan yang hakiki sejatinya adalah balasan nanti di akhirat kelak.

"Ya Allah tunjukkanlah padaku yang benar itu benar dan karuniakanlah kepadaku untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah padaku yang salah itu salah dan karuniakanlah kepadaku untuk meninggalkannya."

Wallahu a'lam bi ash-showab

Refleksi Jum'at : Memilih Hidayah

"Dan orang-orang yang mendustakan tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan (mendustakan) adanya pertemuan akhirat, sia-sialah amal mereka. Mereka diberi balasan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-A'rof: 147)


Khutbah Jum'at pekan lalu yang saya dengar adalah tentang memilih hidayah. Pada ayat di atas, pengingkaran terhadap tanda-tanda Allah dan hari akhir menggiring manusia pada kebinasaan. Maka adalah sangat penting untuk mencari sebab-sebab hidayah, memilihnya jalan hidayah, serta memelihara hidayah itu.

"Bukankah pernah datang kepada manusia dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?" (QS. Al-Insan: 1)
Ayat ini menjelaskan bagaimana kekuasaan Allah yang telah menciptakan manusia dari sesuatu yang sebelumnya tidak terdefinisikan. Dan dengan karunia ini saja, telah cukup alasan manusia untuk tunduk kepada Dia.

"Sungguh Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang (manusia itu) hendak Kami mengujinya, karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat." (QS. Al-Insan: 2)
Ini adalah karunia Allah yang lain, bahwa sejak awal dari penciptaan manusia itu sudah merupakan nikmat. Dari percampuran laki-laki dan perempuan, manusia lahir dengan izin Allah. Bukankah ini sesuatu yang luar biasa? Satu hal yang harus digarisbawahi bahwa penciptaan manusia bukan sekedar nikmat semata melainkan juga ada ujian di dalamnya. Maka ini adalah hikmah diciptakannya pendengaran dan penglihatan bagi manusia. Kedua hal tersebut merupakan sebagian dari alat-alat yang dikaruniakan Allah pada manusia dalam rangka menghadapi ujian-ujian yang ditetapkan baginya.

"Sungguh, Kami telah menunjukkan jalan (yang lurus), ada yang bersyukur dan ada yang kufur." (QS. Al-Insan: 3)
Maka jalan kebenaran telah nyata, maka pilihan ada di tangan manusia apakah dia akan bersyukur atau kufur. Bersyukur adalah dengan memilih jalan kebenaran dan berpegang tegus kepadanya. Adapun kufur adalah berpaling dari kebenaran padahal telah nyata kebenaran itu. Dan tidak lain balasan dari kekufuran itu adalah sebagimana yang difirmankan Allah pada ayat selanjutnya:
"Sungguh, Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala." (QS. Al-Insan: 4)

Lalu apakah balasan bagi orang-orang yang tadi telah memilih kebenaran? Allah berfirman:
"Sungguh, orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. (Yaitu) mata air (dalam surga) yang diminum oleh hamba-hamba Allah dan mereka dapat memancarkannya dengan sebaik-baiknya." (QS. Al-Insan: 5-6)

Kebersihan hati dan kejernihan akal seseorang akan menuntun seseorang pada jalan hidayah, yaitu membela Allah, rasul-Nya, dan agama-Nya. Sebuah kisah diawal kenabian Rasulullah, yaitu dialog beliau, istrinya, Khadijah ra., dan Waraqah bin Naufal tentang wahyu pertama RasuluLlah. Waraqah menunjukkan penerimaannya terhadap kenabian Rasul dan apa yang dibawanya walaupun semua masih dengan informasi yang minim. Namun dengan ketajaman hati dan pikirnya, Waraqah yakin kepada RasuluLlah dan siap untuk membela. Maka walaupun dia akhirnya wafat sebelum berislam seutuhnya, dia telah memilih jalan hidayah.

Dari Aisyah r.a. -seperti yang diriwayatkan dalah Shahih Bukhari-berkata, awal permulaan wahyu kepada Rasulullah saw. adalah mimpi yang benar. Beliau tidak melihat sesuatu mimpi, kecuali mimpi tersebut datang seperti cahaya subuh. Kemudian beliau menyendiri di Gua Hira untuk beribadah beberapa malam sebelum kembali ke keluarganya dan mengambil bekal untuk kegiatannya itu sampai beliau dikejutkan oleh kedatangan Malaikat Jibril pada saat berada di Gua Hira.

Malaikat Jibril mendatangi beliau dan berkata, “Bacalah!” Rasulullah saw. menjawab, “Saya tidak dapat membaca.” Beliau mengatakan, lal malaikat itu memegang dan mendekapku sampai aku merasa lelah. Kemudian ia melepaskanku dan megnatakan, “Bacalah!” Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca!’ Malaikan itu mengulanginya untuk yang ketiga sambil mengatakan, “Iqra’ bismi rabbikal ladzii khalaq; bacalah, dengann menyebut nama Rabbmu yang menciptakan.” (Al-’Alaq: 1)

Kemudian Rasulullah saw. pulang. Kepada isterinya, Khadijah, beliau berkata, “Selimuti aku, selimuti aku.” Lalu beliau diselimuti sampai rasa keterkejutannya hilang. Kemudian beliau menceritakan apa yang terjadi kepada Khadijah. “Aku Khawatir terhadap diriku.” Khadijah menjawab, “Tidak. Demi Allah, sama sekali Dia tidak akan menghinakanmu selamanya. Sebab, engkau orang yang mempererat tali persaudaraan dan memikul beban orang lain. Engkau orang yang menghormati tamu, membantu orang yang susah, dan membela orang-orang yang berdiri di atas kebenaran.”

Kemudian Khadijah pergi bersama Nabi saw. menemui sepupunya, Waraqah bin Naufal. Waraqah pernah menulis kitab Injil berbahasa Ibrani. Khadijah berkata, “Wahai anak pamanku, dengarlah apa yang dikatakan oleh anak saudarmu.” Waraqah bertanya dan ketika Rasulullah saw. menceritakan peristiwa yang dialaminya, ia berkata, “Itu adalah Namus (Jibril) yang pernah diutus Allah swt. kepada Nabi Musa a.s. Alangkah bahagianya seandainya aku masih muda perkasa. Alangkah gembiranya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu.”

Rasulullah saw. bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya. Tidak seorang pun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan diperangi. Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang kamu hadapi itu pasti aku akan membantumu sekuat tenagaku.”


Kisah-kisah sahabat-sahabat RasuluLlah yang lain tentang memilih jalan hidayah juga tidak kalah mengagumkan. Ada di antara mereka yang melakukan perjalanan yang begitu jauh untuk mencari kebenaran. Ada yang menghadapi cobaan-cobaan yang luar biasa ketika mereka memilih untuk menjadi orang-orang yang bersyukur.

Bagaimana dengan kita?
Cukup sadarkah kita untuk memilih jalan hidayah, sementara kita mungkin terlahir di dalamnya?

Wallahu a'lam bi ash-showab.

2.12.2009

Refleksi Pengajian Siaware: Kasih Sayang

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadanya." (QS. Ali 'Imron: 159)

Sungguh pendekatan dakwah dengan hikmah dan kelemahlembutan yang ditunjukkan oleh RasuluLlah telah membawa pada berkembangnya Islam hingga saat ini. Dan sikap-sikap tersebut yang sepatutnya menjadi karakter dari umat Islam. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa lembutnya hati manusia semata-mata juga karena hidayah Allah. Allah berfirman:
“Walaupun kamu membelanjakan semua (membagikan semua kekayaan, harta benda) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka”. Dan (hanyalah Allah) yang mempersatukan hati mereka (yaitu orang-orang beriman)”.(QS. Al-Anfal: 63)

Dalam sejarah digambarkan bahwa suku-suku di Madinah sebelum datangnya Islam, yaitu 'Aus dan Khozroj, hidup dalam peperangan yang panjang dan turun-temurun. Setelah datangnya Islam, hati-hati mereka dipersatukan Allah. Pada akhirnya mereka bersama kaum Muhajirin bahkan dapat mengungguli negara-negara adidaya pada masa itu, Romawi dan persia. Sesungguhnya mukmin itu menjadi kuat bersama saudaranya dan menjadi lemah ketika sendiri.
Hikmah dari persaudaraan sesama muslim antara lain adalah demi mempertahankan iman sesuai dengan sumpah-sumpah manusia sebelum dilahirkan kedunia. Allah berfirman:
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab, 'Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.' (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, 'Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan).'" (QS. Al-A'rof 172)

Maka sepatutnya rasa kasih sayang kita tunjukkan pada saudara-saudara kita agar kebaikan dari agama ini semakin luas. Kebaikan-kebaikan tersebut bukan saja hanya untuk diri sendiri atau kaum muslimin saja tetapi juga manusia pada umumnya dan juga kepada binatang-binatang, tumbuhan, serta alam sekitar. Dan kasih sayang inilah yang mempunyai peranan penting untuk menunjukkan bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta alam.

Kasih sayang ini jugalah yang diperlukan dalam berdakwah. Hikmah tentang berharganya nilai dakwah tertuang dalam kisah perang Khaibar. Khaibar adalah sebuah daerah di jazirah Arab, sekitar 150 km di luar kota Madinah (tetapi masih bagian dari 'provinsi' Madinah) yang kaya dengan hasil kurma. Pada masa itu, Khaibar didiami oleh kaum Yahudi. Mereka memiliki perjanjian dengan kaum Muslimin yang tertuang dalam Piagam Madinah pasca perang Ahzab. akan tetapi, kaum Yahudi melanggar perjanjian sehingga berkobarlah perang Khaibar yang dimenangkan oleh kaum Muslimin. Karena Khaibar daerah yang kaya, maka tidak heran harta rampasan perang yang diperoleh juga besar. Akan tetapi suatu teladan dari RasuluLlah tentang perkara dakwah justru terlihat dari peristiwa ini. Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke Khaibar dan memerintahkannya menyeru orang-orang Yahudi kepada Islam,
“Demi Allah, sungguh Allah mem-beri hidayah kepada seorang laki-laki melalui tanganmu adalah lebih baik bagimu daripada onta merah (harta paling berharga dan bernilai kala itu-red).” (HR. Bukhari dan Muslim, dari hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu)

Maka dakwah kepada siapapun dengan hikmah dan kelemahlembutan merupakan perkara yang agung. Hendaklah tidak berlepas tangan dalam mendakwahi manusia karena ampunan dan hidayah dari Allah dapat tercurah bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sebagiaman kisah diampuninya seorang wanita pezina karena satu perbuatan baiknya.

Dari Abi Hurairah r.a. dari Rasulullah SAW berabda, "Telah diampuni seorang wanita pezina yang lewat di depan anjing yang menjulurkan lidahnya pada sebuah sumur. Dia berkata, "Anjing ini hampir mati kehausan". Lalu dilepasnya sepatunya lalu diikatnya dengan kerudungnya lalu diberinya minum. Maka diampuni wanita itu karena memberi minum. (HR Bukhari)

Dalam kisah yang lain dalam sebuah hadits yang panjang tentang seorang pembunuh yang telah membunuh 99 orang dan akhirnya bertaubat.

Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al-Khudri r.a., Nabi SAW bersabda,
“Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang membunuh 99 jiwa, lalu ia bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi, maka ia ditunjukkan kepada seorang rahib (ahli ibadah), lalu ia mendatangi rahib tersebut dan berkata, ’Jika ada orang yang membunuh 99 jiwa, adakah taubatnya akan diterima?’ Rahib pun menjawab, ‘Tidak.’ Lalu orang tersebut membunuh rahib itu sehingga genap sudah dia membunuh 100 nyawa.

Kemudian ia kembali bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi, lalu ia ditunjukkan kepada seorang yang ‘alim, lalu dia berkata, ’Jika ada orang telah membunuh 100 jiwa, apakah masih ada pintu taubat untuknya?’ Orang alim itu pun menjawab, ‘Ya.. Siapakah yang menghalanginya untuk bertaubat? Pergilah ke daerah ini kerana di sana terdapat sekelompok orang yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka dan janganlah kembali ke daerahmu yang terdahulu kerana daerah tersebut adalah daerah yang jahat.’

Lelaki inipun lantas pergi menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut. Ketika sampai di tengah perjalanan, maut menjemputnya. Maka terjadilah perselisihan antara Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab. Malaikat Rahmat berkata, ‘Orang ini pergi untuk bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah’. Sedangkan Malaikat Azab berkata, ‘Sesungguhnya orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun’.

Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pendamai. Malaikat ini berkata, ‘Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jahat yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju), daerah yang jaraknya lebih dekat, maka daerah tersebut yang berhak ke atas orang ini.’ Mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan teryata orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju! Oleh karena itu rohnya dibawa oleh Malaikat Rahmat.”

(HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Itulah Allah bisa membalikkan kondisi seseorang jika Dia berkehendak. Seseorang yang sepanjang hidupnya mengamalkan amalan ahli surga dapat tergelincir sehingga mendapat akhir yang berbeda. Demikian pula sebaliknya orang yang sepanjang hidupnya melakukan dosa dapat memperoleh surga dengan izin Allah. Pada Kasus yang disampaikan dalam hadits pertama tentang wanita yang memberi minum anjing, maka dengan setitik kasih sayang yang dimilikinya telah mengantarkan dirinya ke surga Allah.

Adapun pada hadits kedua tentang orang yang telah membunuh 99 orang maka dapat ditarik sebuah hikmah, selain tekad yang kuat untuk bertaubat maka diperlukan juga lingkungan yang sehat sebagaimana yang dinasihatkan rahib pada orang tersebut. Lingkungan yang sehat akan mendorong seseorang untuk memelihara dirinya, karena kasih sayang orang-orang disekitarnya akan membawa dia kepada kebaikan.

Hal yang patut diperhatikan dari dua hadits tersebut adalah besarnya rahmat dan kasih sayang Allah. Pintu taubat akan tetap terbuka buat manusia sampai datangnya salah satu dari dua hal, yaitu ketika nafas sudah sampai tenggorokan ketika meninggal atau telah terbit matahari dari barat. Ini adalah sebuah kaidah yang jelas di mana balasan seseorang akan dirujuk pada amalan terakhirnya. Ini juga merupakan kesempatan untuk memanfaatkan berbagai kesempatan untuk berbuat baik termasuk dalam hubungan kepada sesama manusia.

Bagaimana kasih sayang kepada selain manusia? Maka banyak hal yang bisa dipetik dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Larangan berbuat kerusakan di muka bumi tertera di ayat-ayat Al-Qur'an. Imam Bukhari sendiri dalam kitab haditsnya memberi sebuah bab khusus tentang menghijaukan tanah yang gersang.

Banyak pula hadits-hadit dengan redaksi yang berbeda-beda namun punya inti yang sama yaitu anjuran bagi manusia untuk mengasihi makhluk-makhluk Allah. Salah satunya adalah sebagai berikut:
"Orang yang berbelas kasih akan dikasihi oleh Allah Yang Maha Pengasih, maka kasihilah penduduk bumi niscaya engkau akan dikasihi oleh penduduk langit." (HR. Abu Daud)

Maka mari menebar kasih sayang!

"Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, 'Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Allah telah menjadikan kasih sayang-Nya terbagi dalam seratus bagian. Dia menahan sembilan puluh sembilan bagian di sisi-Nya dan menurunkan satu bagian ke bumi. Dari satu bagian itulah para makhluk saling kasih-mengasihi sehingga seekor induk binatang mengangkat cakarnya dari anaknya karena takut melukainya.''" (HR. Muslim)

Wallahu a'lam bi ash-showab

2.10.2009

Kasus Kaderisasi IMG: Sebuah Kelakar Media Masa

Masyarakat dihebohkan oleh berita meninggalnya seorang kawan Geodesi ITB angkatan 2007 dalam rangkaian kaderisasi Ikatan Mahasiswa Geodesi.

Sedih! Bukan kesedihan biasa tetapi kesedihan yang berlapis-lapis karena pemberitaannya yang simpang siur, menurut saya, telah merusak suasana duka dalam berbagai prasangka dan kecurigaan. Dan sudah bisa diduga, media informasi (koran, televisi, internet) yang berperan besar dalam hal ini.

Saya tidak bisa membayangkan bahwa media-media tersebut telah mengabarkan berita-berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Demi apa? Uang? Prestise? Sensasi? Entah....

Di sebuah media disebutkan bahwa kawan itu meninggal di tempat kejadian. Di media lain disebutkan dia meninggal di rumah sakit. Tersiar juga kabar bahwa meninggalnya dalam perjalanan ke rumah sakit. Ada lagi yang memberitakan bahwa dia ditemukan warga tergeletak di tengah jalan. Ada yang bercerita tentang OD. Ada yang berkata bahwa dia jatuh ke jurang. Dan masih banyak berita-berita tidak jelas lainnya yang mengiringi peristiwa duka ini.

Tega!

Apa sih yang kalian cari para wartawan?
Di mana kode etik jurnalistik itu yang sepatutnya kalian usung itu?
Kalian jadikan peristiwa duka ini tidak lebih sebagai bahan kelakar atau olok-olok semata!
Semoga Yang Mahakuasa mengampuni kalian!

Refleksi Jum'at : Persaudaraan Sesama Muslim

Dari khutbah Jum'at lalu. Refleksinya sengaja dibuat dalam pertanyaan-pertanyaan. Alasan? Karena khutbah tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan retoris ini ketika saya mendengarnya.

Bukankah sangat mengherankan mereka yang bersaudara atas nama iman saling bertikai?
Bukankah sangat mengherankan ketika kepentingan sendiri telah melanggar hak-hak orang lain?
Bukankah sangat mengherankan bahwa dunia dipenuhi oleh orang-orang yang enggan mengingatkan saudaranya?
Bukankah sangat mengherankan kenyataan ketika seseorang justru hendak menegakkan hukum Allah demi meluruskan saudaranya dia dianggap melanggar hak asasi manusia?

Ternyata menjadi saudara seiman merupakan perjuangan juga rupanya!

2.05.2009

Menyoal Energi

Apa yang terlintas dalam benak tentang energi? Pelajaran fisika? Rumus Einstein dengan kuadrat kecepatan cahaya? Atau malah kekuatan manusia atau alam semesta yang menyusun kehidupan? Hmmm.... definisi energi tampaknya sudah kian luas saja sekarang!

Terus terang, saya tidak suka konsep-konsep kontemporer soal energi. Makna energi yang makin meluas di kalangan masyarakat justru merupakan sebuah bahaya terselubung yang menjerumuskan.

Saya berdiskusi dengan salah seorang teman kost soal energi tak terbatas manusia yang membuat seseorang bisa menghipnotis, atau jiwanya bisa berpergian sementara raganya bergeming, atau bisa merobohkan lawan dengan pukulan jarak jauh, atau mengirim dan menyembuhkan penyakit. Dia berkata hal-hal ini bukanlah sesuatu yang berkaitan dengan mistis. Jadi hal-hal semacam tenung, sihir, atau hal-hal seperti itu terjelaskan semua dengan konsep energi ini. Hal ini mungkin didukung oleh persepsi keliru yang timbul dari sejumlah bacaan-bacaan laris soal will power manusia.

Terus terang saya tidak bisa terima begitu saja konsep yang disampaikan tersebut. Energi tak terbatas manusia? Dari frase ini saja saya sudah tidak setuju. Jika memang tidak terbatas, bukankah kita telah sampai pada kedudukan Tuhan?
Teman saya berkata soal penyembuhan penyakit dengan konsep ini;

"Yang penting keyakinan dia kuat. Kalau dia sudah yakin, pasti sembuh."

Hmmm..., pasti ya?

"Memang sih semua dengan izin Allah. Tetapi bagaimanapun yang paling utama karena ada energi itulah, semuanya bisa!"

Hey... hey... bagaimana ceritanya Tuhan diposisikan lebih rendah dari ciptaannya. Energi lebih utama daripada Sang Pencipta energi?

"Latihan-latihan meningkatkan kapasitas energi paling baik jam dua atau jam tiga. Latihannya mengatur pernafasan semacam meditasi. Itu makanya sholat tahajjud juga jam-jam segitu. Intinya sih sama antara latihan itu dengan sholat jam segitu."

Apakah sama meditasi dan sholat? Hmmm... mengapa memilih sesuatu yang lain ketika ada sesuatu yang lebih baik dan berdasarkan petunjuk.
Saya tidak hendak mencela suatu konsep kepercayaan atau paradigma berpikir, namun adakalanya hal-hal yang dianggap luar biasa boleh jadi adalah gerbang kehancuran yang jauh lebih dahsyat. Bijaksanalah! Ada hati untuk memfilter benar dan salah, ada nalar yang mengolah akal, ada petunjuk sahih yang bisa ditelaah. Maka pergunakanlah!

Menjadi orang dengan kemapuan dahsyat? Ah... tampaknya menjadi manusia dengan beragam keterbatasannya nampak lebih indah dan sempurna. Rasanya lebih enak masih bisa mengadu dan memohon pertolongan pada Tuhan. Menurut kamu, bagaimana?

2.04.2009

Marah...

Satu hal yang membuat saya paling marah adalah ketika menyadari saya menjadi marah atas hal-hal sepele.

Mengapa menjadi marah atas kemarahan?

Saya merenung soal ini dan sadar bahwa ketika marah akal saya menjadi kian liar dan itu makin tersulut oleh rasa panas dalam dada. Perasaan ingin menumpahkan didihan emosi senantiasa tak tertahankan. Dan hal-hal semacam itu membuat badan saya merasa tidak enak dan terkadang pada ranah pikiran saya merasa menjadi jahat dan keji.

Akan tetapi, selalu saja ada geliat pikiran dan bisikan hati yang berkata,"Kalau kamu tumpahkan kemarahanmu, bisakah kamu berhenti pada titik yang setara dengan apa yang membuatmu marah?" Saya tahu jawaban pertanyaan itu: Saya tidak tahu!

Ya sudah! Saatnya pergi mandi dan mengurai kusutnya hati.

Sudut Kampus

Diambil dengan kamera telepon selular saja, tanpa editing.
Harap maklum (^_^)



2.03.2009

Refleksi Pengajian Siaware: Persahabatan dan Persaudaraan Islam

"Apa saja harta rampasan perang yang diberikan Allah kepada rasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.
"(Juga) bagi fuqoro yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena)mencari karunia dari Allah dan keridhoan(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasulnya. Mereka itulah orang-orang yang benar.
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin). Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa,'Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Mahapenyantun lagi Mahapenyayang.'"
(QS. Al-Hasyir: 7-10)



Penjelasan tentang persahabatan dan persaudaraan antara sesama muslim tertera dalam banyak ayat-ayat Al-Qur'an. Pada dasarnya, persaudaran dan persahabatan adalah demi memperkokoh Ukhuwah Islamiah. Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua orang saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (QS. Al-Hujurat: 10)

Adapun alasan-alasan dibalik memupuk persahabatan dan persaudaraan adalah beberapa hal sebagai berikut:
  1. Demi menghadapi permusuhan dari musuh-musuh agama, yaitu orang-orang kafir dan munafik.

  2. Demi membangun bangunan masyarakat islam, sebagimana yang diterangkan dalam Al-Qur'an:
    "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang kokoh." (QS. Ash-SHoff: 4)

  3. Saling menguatkan satu sama lain, jadi tidak sekedar saling kenal.


Hal yang perlu diperhatikan dari poin terakhir adalah fakta tentang keberagaman manusia, maka perlu buat setiap orang menempatkan dirinya sebagaimana bangunan juga memiliki komponen-komponen dengan fungsi-fungsinya masing-masing sehingga bangunan itu tegak berdiri.

Lalu apa yang membuat membangun bangunan masyarakat Islam menjadi demikian menantang? Yaitu karena bangunan masyarakat Islam tersebut adalah bangunan hidup yang mesti terus dipupuk. Akan tetapi, tahap membangun bangunan Ukhuwah Islamiah sama saja dengan membangun bangunan-bangunan pada umumnya, yaitu membuat pondasinya terlebih dahulu.

Sebagai ilustrasi adalah bagaimana menyelesaikan permainan rubic's cube. Untuk membuat sisi-sisi kubus pada permainan tersebut menjadi sewarna, hal yang paling mendasar adalah menyamakan warna pada satu sisi. Sisi itulah yang akan menjadi pondasi untuk menyusun warna pada sisi-sisi lainnya. Selanjutnya adalah memastikan warna pada lantai satu pada tiap sisi di empat sisi tegaknya bersesuaian. Selanjutnya menyamakan warna lantai kedua sisi tegaknya. Terakhir adalah menyamakan lantai teratas menjadi serupa yang otomatis membuat warna sisi atas juga menjadi sama.

Pada permainan rubic's cube tersebut, perkara yang tersulit justru menyamakan warna pada sisi teratas. Kadangkala, ada posisi warna terbalik padahal dari sisi lain terlihat bahwa kubus warna tersebut sudah tersusun sempurna. Maka perlu adanya strategi bagiamana mengembalikan bagian-bagian yang keliru lokasinya ke posisi yang seharusnya tanpa akhirnya merusak dua lantai dibawahnya. Memang pada awalnya ada konsekuensi yang perlu dibayar dengan mengubah sejumlah susunan warna di lantai kedua, namun dengan formula yang tepat pada akhirnya kubus itu akan sempurna.

Penyelesaian permainan rubic's cube tersebut merupakan sebuah gambaran bahwa untuk membangun sesuatu dibutuhkan skill buat membangun. Sejumlah hikmah yang bisa dipetik adalah tentang makna kesabaran, bagaimana memperbaiki kesalahan, dan membayar risiko atas perbaikan itu. Kesabaran diperlukan untuk membangun banguna itu secara keseluruhan yang diawali dengan membangun bagian paling dasar terlebih dahulu. Memperbaiki kesalahan dimaksudkan bagaimana seorang muslim saling menasihati, mengingatkan, memberi feedback dengan saudaranya yang lain. Dalam proses tadi mungkin ada beberapa hal yang kurang menyenangkan sebagai sebuah risiko. Akan tetapi, risiko-risiko itulah yang mesti dibaya agar bangunan ukhuwah ini bisa sempurna.

Skill membangun pernah disampaikan oleh seorang tokoh Islam dari Mesir, Hasan Al-Bana. Dia menyebutkan tiga tahap dalam membangun masyarakat Islam, yaitu ta'aruf, tafahum, dan takaful. Ta'aruf adalah fase paling awal di mana seseorang kenal saudaranya. Tafahum adalah tingkatan yang lebih tinggi lagi yaitu memahami orang lain. Dan takaful adalah kondisi dimana setiap orang dapat saling mengandalkan berdasarkan fungsinya masing-masing.

Hal yang juga mesti disadari dalam membangun persahabatan dan persaudaraan adalah bagaimana kecenderungan tumbuh manusia. Dalam sebuah analisis psikologi populer yang disampaikan Erick Fromm, manusia punya dua kecenderungan tumbuh yaitu menjadi insan yang to have atau to be. Karakteristik to have adalah sifatnya yang relatif dan kemelekatannya semu. Adapun karakteristik to be adalah sesuatu yang merupakan jati diri, tidak hilang oleh variabel ruang dan waktu (walau dapat saja terkikis jika tidak dipelihara sebagimana mestinya). Dikatakan bahwa pilihan menjadi insan to be lebih baik daripada to have karena perbedaan karakteristik tersebut. Akan tetapi, pilihan menjadi insan to be tidak mengabaikan bahwa memiliki sesuatu juga bisa jadi sesuatu yang penting.

Lalu hal apa yang bisa mewujudkan suatu hubungan persahabatan dan persaudaraan yang kokoh?

Sebagai ilustrasi mudahnya adalah kehidupan pasangan suami istri. Langgengnya hubungan pernikahan antara lain adalah cinta tanpa syarat, unconditional love. Hal ini memosisikan suami dan istri selayaknya sahabat yang punya hak dan kewajiban; tidak sama bentuknya namun sama pentingnya. Khairul Arif mengemukakan penelitiannya tentang kurva kerukunan. Kurva kerukunan adalah gambaran kelanggengan rumah tangga di Perth (Australia), kota-kota dan desa-desa di Indonesia. Kecenderungannya adalah kelanggengan menurun terhadap waktu untuk Perth dan kota-kota. Hal yang terburuk dari penurunan kelanggengan ini adalah perceraian. Adapun di desa-desa kecenderungannya adalah diawali dari nilai yang kecil terlebih dahulu dan baru kemudian meningkat sampai sebuah titik dan kemudian stabil. Perbedaan kecenderungan ini dijelaskan karena adanya perbedaan didikan tentang hak dan kewajiban suami dan istri. Orang-orang-orang di desa cenderung mendapat didikan yang lebih masif soal ini. Maka, pernikahan orang-orang di desa walaupun tanpa cinta pada awalnya (sebagai akibat perjodohan biasanya), diakhir mereka cenderung akan bisa keluar dari krisis dan mewujudkan unconditional love tersebut karena masing-masing pihak cenderung memenuhi kewajiban terlebih dahulu sebelum memperoleh haknya. Memang perselisiahan tetap bisa terjadi, tetapi ada kesadaran dari tiap pihak untuk introspeksi diri dan hubungan mereka. Pasangan-pasangan di Perth dan kota-kota besar cenderung menunjukkan hal yang sebaliknya; menuntut hak tetapi mengabaikan kewajiban, dan perselisihan kerap dianggap sebagai kesalahan pasangan.

Sebuah teladan luar biasa ditunjukkan oleh pasangan Imam Ahmad ibn Hanbal dengan istrinya Ummu Abdillah. Selama empat puluh tahun pernikahan mereka, tidak pernah terjadi percekcokan. Semua disebabkan oleh pemahaman mereka dalam berislam.

Hal yang serupa juga berlaku dalam membangun sebuah masyarakat. Adalah penting bahwa setiap orang menyadari hak dan kewajibannya. Tidak cuma sadar tetapi juga melakukan dengan tulus.

Berbicara tentang ketulusan, dalam sebuah artikel pada surat kabar New York Times disebutkan bahwa tipe pebisnis ada dua yaitu tipe manipulator dan tipe networker. Tipe manipulator adalah pebisnis yang bersifat taker, setiap apa yang dia lakukan semata-mata karena mengejar keuntungan. Selalu ada hitung-hitungan dalam setiap apa yang dikeluarkannya. Sebaliknya, tipe networker adalah pebisnis yang bersifat giver. Dia tidak khawatir memberi karena baginya yang penting adalah jaringan yang kuat.

Pada dasarnya, apa yang dijelaskan dalam artikel tersebut berlaku juga dalam jenis hubungan-hubungan lain lebih-lebih dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang ideal. Masalah ketulusan ini juga diterangkan Allah dalam firmannya:
"Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak." (QS. Al-Mudatsir: 6)

Sebuah pertanyaan, bagaimana kita bersahabat dengan orang non muslim?

Secara singkat pertanyaan hubungan kepada mereka perlu didasari oleh semangat mendakwahi mereka bahwasanya Islam adalah agama yang penuh kebaikan dan rahmat bagi semesta alam termasuk buat mereka. Juga untuk mencegah hal-hal buruk dengan memusuhi mereka. Hendaklah bermuamalah dengan mereka dengan cara yang baik. Dan adalah hal yang baik berdoa agar Allah memberi hidayah kepada mereka.

"Dan tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai." (QS. Al-Anbiya': 23)



Wallahu a'lam bi ash-showab.

Refleksi Jum'at : Memenfaatkan Waktu untuk Beramal Saleh

"Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shobi'in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Al-Hasyir: 18)


Ayat tersebut pada dasarnya mendorong kita untuk beramal saleh. Sebagimana hal yang sering disampaikan bahwa sepatutnya seorang muslim dapat memanfaatkan waktu yang dimilikinya dengan amal saleh sebelum datangnya masa di mana dia tidak sanggup atau berat untuk melakukan amal saleh tersebut.

Pergunakanlah masa hidup sebelum datangnya kematian.
Sesungguhnya harga sebuah kehidupan akan sangat disadari ketika seseorang telah merasakan apa yang namanya mati. Apa dasarnya bahwa orang mati akan merasakan kesedihan atas ketidakmampuannya dalam beramal? Sesungguhnya Allah berfirman dalam kitabnya yang mulia:
"Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata,'Ya Allah, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?'" (QS. Al-Munafiqun: 10)

Pergunakan masa muda sebelum datangnya masa tua.
Penyesalan di masa tua ditimbulkan karena menyia-nyiakan masa muda. Banyak amalan-amalan yang mungkin akan terasa berat pada masa tua, yang amalan-amalan tersebut bahkan mungkin terpaksa ditinggalkan karena udzur. Maka sebelum masa tua datang, pergunakan dengan sebaik-baiknya.

Hal yang keliru terjadi adalah pemikiran bahwa masa muda adalah masa untuk bersenang-senang terlebih dahulu. Adapun amal ditangguhkan hingga nanti ketika tua menjelang. Memulai beramal di masa tua akan lebih berat apalagi kondisi badan tidak akan seprima masa muda padahal untuk beribadah yang berkaitan dengan aktivitas fisik dibutuhkan kondisi tubuh yang prima.

Pergunakanlah masa kayamu sebelum datangnya kemiskinan.
Seringkali ketetapan Allah tidak terduga. Kekayaan seseorang dapat dibalikkan sekejap mata menjadi kemiskinan jika Allah telah berkehendak. Maka, dengan harta yang dimiliki pada masa sekarang, apa yang bisa dimanfaatkan buat agama Allah?

Pergunakanlah masa sehatmu sebelum datangnya masa sakit.
Betapa mahalnya harga kesehatan justru akan terasa ketika sakit. Sebagai ilustrasi, untuk menyembuhkan suatu penyakit dibutuhkan uang untuk berobat, menyediakan makanan yang bergizi. Itu dari sisi harta. Kemudian dari sisi lainnya, mungkin akan banyak pekerjaan yang terbengkalai dan waktu yang tersia-siakan karena sakit. Bagaimana dengan ibadah? Tentu kualitasnya tidak akan sebaik ketika sehat. Untuk sholat saja misalnya, konsentrasi mungkin akan terpecah antara menjaga kekhusyu'an dan menahan rasa sakit.

Pergunakanlah waktu luangmu sebelum datngnya masa sibuk.
Waktu luang sering kali melalaikan sehingga diisi dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Kala masa sibuk menjelang, barulah menyesal karena tidak melakukan hal-hal yang perlu. Seringkali orang beralasan sibuk sehingga meninggalkan amal saleh padahal ketika dia punya waktu luang pun dia tidak melakukan amal saleh tersebut. Sungguh disayangkan.

Pada ayat yang dikutip di atas, tentang kaum-kaum bersama orang-orang mukmin bahwa mereka mendapat pahala maka ini perlu mendapat penjelasan. Mereka mendapat pahala atas syariat yang dijalankan pada masa syariat itu berlaku. Adapun pada masa sekarang, maka syariat Islamlah yang harus dijalankan. Orang Yahudi, maka syariatnya akan membuahkan pahala dari masa Nabi Musa sampai Nabi 'Isa. Orang Nasrani maka syariatnya terputus ketika datangnya RasuluLlah Muhammad membawa Islam.

Hal yang perlu dicatat adalah amal saleh didahului oleh adanya iman kepada Allah dan hari akhir. Mengapa dua jenis iman ini menjadi penting? Tidak lain karena ke-gaib-an dua perkara tersebut. Ketika seseorang sudah beriman pada yang gaib, maka iman pada sesuatu akan lahir dengan sendirinya.

Wallahu a'lam bi ash-showab.

Refleksi Jum'at : Takwa

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepa Allah, esungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hasyir: 18)


Ini adalah refleksi khutbah Jum'at dua pekan yang lalu. Khutbah tersebut sangat singkat tetapi mendalam. AlhamduliLlah....

Dalam Al-Qur'an ketika Allah bersumpah atas sesuatu atau menyebutkan hal yang sama dua kali dalam satu ayat, maka bisa dipastikan hal tersebut merupakan perkara yang sangat penting. Hal tersebut juga berlaku untuk perkara takwa seperti yang disebutkan dalam ayat di atas.

Mengapa harus bertakwa?

Dalam Al-Qur'an Allah berfirman:
"Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu, bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir maka (ketahuilah) sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji." (QS. An-Nisa: 131)

Jelaslah bahwa dengan apa yang dikaruniakan Allah merupakan alasan yang cukup bagi manusia untuk bertakwa kepada Allah. Adalah mudah bagi Allah untuk mencabut karunia tersebut. Adapun ciri-ciri ketakwaan dapat dirujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an, beberapa di antaranya tertera pada QS. Al Baqoroh: 2-5 dan 177.

Wallahu a'lam bi ash-showab.

Memilih Islam

Seperti apa rasanya memilih?
Penuh risiko?
Banyak ujian?
Bingung?
Berat?

Berbicara soal memilih, saya menjadi saksi dari sebuah pilihan seseorang. Bukan pilihan biasa karena saya yakin pilihannya akan memberikan konsekuensi yang mungkin tidak sedikit. Hal yang saya bicarakan adalah pilihan untuk berpindah keyakinan.

Sore beberapa hari yang lalu saya sholat ashar di Salman. Beruntung, saya mendapatkan kesempatan menyaksikan deklarasi seorang Amerika menjadi muslim. Namanya Tuan Brett (nama belakangnya tidak terdengar begitu jelas). Dia sendiri telah tinggal di Indonesia selama delapan tahun. Selama itu dia terus menerus belajar tentang Islam dari interaksinya dengan rang-orang Indonesia. Maka enam bulan yang lalu dia menetapkan hati untuk berislam dan Kamis lalu dia mendeklarasikan keislamannya secara utuh dengan mengucap dua kalimat syahadat. Ternyata cukup lama juga selang antara memutuskan dan mendeklarasikan, ya?!

Pak Hermawan K. Dipojono adalah orang yang membimbing beliau untuk mengucapkan syahadatain. Sebelumnya, Pak Hermawan memberi beberapa patah kata dalam bahasa Inggris yang intinya adalah menegaskan soal pilihan. Bahwa tidak ada paksaan dalam berislam adalah sebuah hal yang jelas, namun ketika seseorang telah memilih berislam maka akan datang ujian kepadanya. Ujian itu bisa datang dari mana saja termasuk keluarga atau lingkungan. Maka risiko-risiko yang dihadapi boleh jadi sama skali tidak kecil, bahkan nyawa bisa dipertaruhkan dengan pilihan ini. Satu hal yang ditekankan bahwa ujian tidak saja datang buat mereka yang baru memilih sebuah jalan hidup melainkan buat mereka yang sejak awal telah hidup dalam jalan tersebut sejak lahir. Sebuah catatan, adanya ujian bukan untuk menakut-nakuti melainkan justru untuk memperteguh seseorang dengan pilihannya.

Maka setelah selesai dengan beberapa nasihat itu, berdeklarasilah beliau dengan terbata-bata. Haru.

Seusai bersyahadat, saya berkesempatan bersalaman dan memeluk beliau. Dia berkata, "Thank you!" Saya rasakan kesungguhan hatinya saat berkata itu. Saya heran, karena merasa tidak berbuat sesuatu dalam mendukung keislaman yang baru saja dideklarasikannya, bahkan saya tidak pernah kenal dia sebelumnya. Saya bingung, tetapi juga senang. Mungkin ini yang namanya bersaudara, ya?

Beropini tentang Televisi

Luar biasa! Saya terjebak dalam sesuatu kekaguman yang aneh. Aneh? Betul, karena kekaguman itu berkaitan dengan sesuatu yang saya tidak sukai. Saya tengah membahas televisi dan penikmatnya.

Sudah tiga tahun terakhir ini, saya memilih untuk tidak menonton televisi. Terkadang, saya memang masih menonton televisi ketika bertandang ke rumah kawan atau keluarga. Selebihnya, saya enggan. Alasan saya sederhana saja; saya merasa televisi (Indonesia) berbahaya!

Pernyataan berbahayanya televisi mungkin tidak lebih dari sekedar opini pribadi, namun kerap kali saya dapati bahwa televisi memang memberi pengaruh buruk. Salah satu bukti adalah beberapa waktu lalu ketika saya berkunjung ke rumah sepupu. Ketika itu, sayang sekali, satu-satunya wahana hiburan yang bisa dinikmati adalah televisi. Ketika senggang, saya menemani para keponakan untuk menonton televisi. Dan saya takjub menyadari bahwa saya bisa terkuras secara emosi walau saya hanya menonton setengah jam saja. Saya merasa kian takjub ketika teringat bahwa banyak orang yang bisa menikmati televisi sepanjang hari; pagi sampai malam. Buat saya, ini adalah salah satu bukti ketangguhan manusia menghadapi kondisi apapun ketika dia menjadi terbiasa dengan kondisi tersebut.

Dari tayangan-tayangan yang saya saksikan, saya simpulkan bahwa tayangan-tayangan televisi kita hanya berkutat pada permasalahan remeh-temeh yang didramatisir secara luar biasa mulai dari tayangan-tayangan sinetron, infotainment, dan reality show. Televisi tidak lain adalah wahana tipu daya dan tampaknya banyak yang menikmati menjadi korban penipuan.

Suatu ketika saya berkunjung ke kost kawan dan menyaksikan sebuah reality show yang bersimbah air mata dan juga diiringi perkelahian yang disaksikan oleh banyak orang. Aneh, bahwa orang-orang yang menyksikan tersebut tidak mencoba melerai bahkan menunggu kejadian melodrama apalagi yang bakal terjadi. Semua terekam dalam tayangan tersebut. Hmmm... saya mencoba menalar di mana letak realitas dari tayangan tersebut. Jika tayangan itu rekayasa, maka pemirsa telah dibohongi bahkan sejak awal, disuguhi reality show yang ternyata bukan realita. Jika tayangan itu benar, maka terlihat betapa kebasnya hati manusia yang memilih memuaskan hawa nafsu dengan mempermalukan orang lain, menyelebrasi pertikaian, melanggar ruang pribadi, dsb.

Bagaimana dengan berita? Ah..., berita sekarang tidak lebih dari perburuan sensasi. Pewartaan oleh televisi hanya sekedar transfer informasi yang justru tidak mencerdaskan. Sebaliknya, televisi telah menjadi gerbang utama bagi penyebaran rasa takut, kemarahan, ketidakpercayaan, permusuhan, fitnah, dan lain sebagainya. Oh... mungkin saya salah, ada beberapa pihak yang dicerdaskan oleh televisi; para pelaku kejahatan.

Saya ingin bertanya sebenarnya pada penikmatnya, apakah mereka benar-benar bisa menikmati televisi karena buat saya benda tersebut sama sekali tidak menghibur.

Apakah sudah sedemikian kerasnya hati sehingga penikmatnya merasa biasa saja ketika berbagai tayangan yang tentang hal-hal yang berlawanan dengan norma dan etika ditayangkan secara vulgar atas nama hiburan?

Apakah sedemikian lemahnya jiwa sehingga tidak ada yang sadar bahwa kebohongan secara repetitif yang dibawa televisi semakin memperburuk tatanan nilai dan norma?

Apakah sedemikian terpuruknya mental kita sehingga emosi dan bahkan jam biologis demikian dikendalikan oleh tayangan-tayangan televisi?

Apakah sudah sedemikian hitamnya kehidupan manusia sehingga tidak ada sesuatu yang optimis yang bisa diwartakan?

Ah.... sedih sekali, banyak manusia yang menjadi tidak merdeka!