12.10.2009

Hujan

Dari NOTES facebook:

Hujan menyambut kepulangan saya ke Lombok. Saya menghirup aroma tanah dan rerumputan basah yang bersenyawa dengan udara. Segar. Ah… saya selalu mencintai hujan.

Saya mengenang masa kecil ketika dahulu di musim hujan, hampir setiap hari saya dan teman-teman bermain hujan. Kami mandi di kali yang airnya sudah sangat coklat membawa humus sehingga mata kami menjadi merah, bibir menjadi jeri, dan jemari menjadi keriput. Atau berkubang lumpur di sawah-sawah. Atau ke kebun-kebun berburu binatang-binatang hujan. Atau sekedar mengguyur badan dengan lebatnya curahan air. Buat kami, ketika itu, hujan adalah kebutuhan primer.

Akan tetapi saya meyadari satu hal baru tentang hujan. Perjalanan menuju rumah dari bandara mebuat saya melihat hal itu. Saya melihat banyak sekali orang-orang menikmati curahan air yang demikian lebat. Mereka berhujan-hujan. Laki-laki dan perempuan. Dewasa dan anak-anak. Yang bertelanjang dada atau berpakaian lengkap. Di sini, hujan punya makna lain.

Saya melihat sekelompok remaja yang berlarian dan sesekali berputar badan. Mereka tengah berdansa dengan titik-titik air. Tidak jauh dari sana, dua orang pria paruh baya berjalan-jalan santai dalam guyuran hujan. Saya melihat bahwa dingin mulai menggigit ujung jari dan bibir mereka, tetapi siapa yang mampu menolak rayuan mesra sang hujan. Anak-anaklah yang paling bergembira. Mereka berlari-larian di atas jalan yang licin menuju sawah-sawah, ladang-ladang, atau tanah lapang. Beberapa orang anak tergelincir, namun mereka segera bangkit melanjutkan keceriaannya.

Saya akhirnya bisa mengingat kembali, bahwa hal ini telah terjadi sejak dahulu ketika kami kanak-kanak. Orang-orang dewasa juga berpartisipasi dalam kegembiraan musim hujan. Dan sungguh kegembiraan itu bukan euphoria atas terbebasnya dari kemarau, sebab di sini air belum pernah menjadi kering.

Di tanah ini, berhujan-hujan bukan milik anak-anak semata. Di sini, hujan memiliki daya pikat magisnya yang membuat kala demikian bijaksana mengundurkan waktu sehingga setiap orang berhak menjadi kanak-kanak kembali.

Bagi orang-orang di sini, hujan adalah kebebasan.


12.09.2009

Keajaiban Bernama Kelahiran

Dari NOTES facebook:

Kelahiran seorang anak manusia ke muka bumi adalah sebuah keajaiban. Sekian orang telah menjelaskan dari berbagai macam sisi. Para ilmuwan telah memberi penjelasan nan menakjubkan tentang proses terlahirnya manusia di dunia. Kaum spiritualis menjelaskan bahwa ada ruh ilahiyah yang belum ternoda pada tiap bayi yang lahir. Itu sebabnya mereka begitu murni dan membawa kebahagiaan. Negarawan melihat mereka sebagai masa depan bangsa.

Di antara keajaiban-keajaiban itu adalah perubahan-perubahan yang dibawa bagi para orang tua. Dengan kelahiran seorang anak, seorang pria menjadi lebih tekun mencari nafkah sebab dengan kelahiran itu dia telah menjadi ayah. Atau seorang wanita yang menjelma menjadi manusia super tangguh karena dia telah menyandang predikat ibu.

Saya juga punya kisah tentang keajaiban tentang kelahiran ini. Cerita ini saya peroleh di tahun 2003 lalu yang datang menghampiri saya tanpa terduga. Sungguh kedatangan cerita itu pada saya adalah keajaiban juga sebagaimana saya menuliskannya hari ini.

Suatu ketika saya bertemu dengan seorang pengendara taksi dan menginap di rumah beliau beberapa hari. Sungguh beliau adalah orang yang ramah. Istri beliau pun orang yang sangat bersahabat. Dengan seorang putri yang berusia sekitar setahun, saya tahu bahwa ini adalah sebuah keluarga yang bahagia.

Suatu hari, ketika beliau itu tidak menjalankan taksinya, saya berbincang-bincang dengannya. Entah mengapa pembicaraan mengarah pada perjalanan hidup beliau.

“Saya,” kata beliau, ”sudah narik taksi sejak muda, Mas.”

“Ya, Pak?!”

“Iya. Tapi saya dulu nakal, Mas.”

“Nakal bagaimana?”

“Saya dulu suka main perempuan. Banyaklah pokoknya. Bahkan sampai saya sudah menikah.”

“Kok bisa?”

“Bisa, Mas. Apalagi kalau perginya jauh. Kadang memang nggak pulang ke rumah sampai dua-tiga hari.”

“Ooh….”

“Tapi semua berubah waktu anak saya lahir. Waktu saya tahu yang lahir adalah anak perempuan, saya jadi nggak ingin lagi melakukan hal-hal seperti itu. Syukurlah!”

“Wah…, hebat ya, Pak.”

“Nggak kok. Tetapi itu, soalnya yang lahir anak perempuan. Mungkin kalau yang lahir laki-laki saya masih seperti dulu, hahahaha….”

Saya tersenyum. Saya takjub bahwa kelahiran seseorang bisa membawa perubahan bagi orang tuanya sampai sedemikian besarnya. Perubahan sikap dan cara pandang serta keputusan untuk menjadi manusia lebih baik merupakan hal luar biasa yang belum tentu hadir setiap saat atau ke setiap orang.

Saya segera tersadar bahwa keajaiban-keajaiban itu adalah karunia Allah. Dia Yang Mahatahu keajaiban-keajaiban apa yang akan hadir dengan kelahiran seorang laki-laki atau perempuan ke muka bumi. Dia Yang Mahasantun dan Mahalembut dalam mencurahkan keajaiban tersebut. Dan keajaiban-keajaiban itu tidak lain adalah hikmah dari peristiwa yang hadir di balik ketetapan-ketetapanNya.

Sahabat-sahabatku yang membaca notes ini, mungkin suatu saat kita perlu bertanya pada orang tua masing-masing. Bertanya tentang keajaiban-keajaiban apa yang hadir dengan kelahiran kita.
Dan mungkin kita akan terkejut!



* Hari ini saya menerima begitu banyak cinta, perhatian, doa. Dan itu sungguh keajaiban-keajaiban lain yang hadir dan menyapa saya. Ya Allah, ingatkan aku untuk bersyukur padamu....

Sebuah Kisah Tentang Kepercayaan dan Pengabaiannya

Dari NOTES facebook:

Ada sebuah kisah lain yang sangat saya ingat ketika duduk di bangku SMU. Kali ini kisah itu berkaitan dengan tanggung jawab dan menjaga kepercayaan. Kejadian pada tanggal 1 Februari 2001 itu adalah peristiwa paling dikenang saya dan kawan-kawan sekelas karena pada hari itu kami kehilangan hak istimewa.

Adapun kisahnya dimulai pada awal tahun ajaran, yaitu bulan Juli 2000. Itu adalah kali pertama sekaligus kali terakhir kami memperoleh seorang wali kelas yang memberikan hak istimewa kepada siswanya untuk makan di kelas dan juga berkeliling di dalam ruangan kelas pada saat jam pelajaran. Hak istimewa itu diberikan dengan beberapa syarat: tetap memperhatikan pelajaran, tidak membuat kelas menjadi kotor, dan tidak gaduh di dalam kelas.

Dengan hak istimewa itu, seorang kawan mendulang keuntungan dari sisi ekonomi. Dia berjualan keripik pedas yang kelak menjadi makanan favorit kami di kelas. Hanya saja kami tidak benar-benar bertanggung jawab dengan hak istimewa kami tersebut. Maka tragedi 1 Februari, begitu kami menyebut, terjadilah.

Sebelumnya saya beritahukan bahwa sekolah kami menerapkan sistem kelas berpindah. Jadi siswa yang berpindah, sementara guru biasanya memegang kelas tertentu. Wali kelas saya biasanya mengajar di kelas Matematika B.

Tanggal 1 Februari 2000 pagi menjelang siang di kelas Matematika B, ketika itu wali kelas kami mengajar kelas 2-5. Tidak seperti biasa, beliau meminta para siswanya untuk membersihkan kolong meja. Beliau menemukan hal yang mengejutkan dan membuat wajah beliau merah padam: kolong meja penuh dengan bungkus plastik keripik pedas. Tahulah beliau, bahwa siswa 3 IPA 4 yang diwalikannya yang bertanggung jawab akanhal tersebut.

Jam terakhir hari itu adalah jam Matematika. Kami tidak tahu akan mengahadapi amukan kemarahan dari wali kelas kami. Kami masuk dan segera tahu ada sesuatu yang tidak biasa. Dan benarlah, hari itu kepala kami hanya bisa tertunduk ketika beliau meluapkan kemarahannya.

Beliau berkata bahwa beliau sangat kecewa dengan apa yang telah kami perbuat. Adalah kami diberikan hak disetai dengan kewajiban yang ternyata kami abaikan. Beliau tidak menyangka bahwa hal itu dilakukan oleh siswa kelas unggulan. Beliau kecewa karena ternyata kami tidak bisa dibanggakan keunggulannya adalam menjaga kepercayaan yang diberikan. Maka hari itu keluarlah sebuah ultimatum yang sangat kami kenang, bahkan hingga saat ini.

“Mulai hari ini,” kata wali kelas kami itu, “saya melarang kalian makan di dalam kelas.”

Maka sejak hari itulah, kami tidak pernah lagi merasakan hak istimewa kami itu lagi. Adapun kelas lain yang diajar beliau, hak istimewa itu tetap berlaku. Sanksi adalah buat pelaku. Imbasnya juga terjadi buat keripik yang dijual teman saya itu. Penjualan yang bersangkutan menurun walau tidak terlalu parah. Bagaimanapun kripiknya telah menjadi favorit kami, sehingga kami tetap membelinya di luar jam pelajaran.

Setiap kali mengenang hal itu, saya tersenyum. Saya mendapat pelajaran berharga hari itu. Pelajaran bagaimana memelihara amanah. Ketika suatu kepercayaan dilanggar akan ada dampak yang lebih besar besar yang tidak menyenangkan. Buat diri sendiri, bahkan juga orang lain. Saya percaya bahwa teman-teman saya yang lain juga belajar hal yang luar biasa hari itu.

Tentang Kesalahan dan Amarah

Dari NOTES facebook:

Ada pelajaran lain yang tidak kalah berharga dari kisah yang saya sebutkan dalam notes sebelumnya (Pelajaran Tentang Harga Diri). Mungkin sudah bisa ditebak, hal ini berkaitan dengan menyikapi suatu kesalahan.

Kisah saya yang sebelumnya tentang penyontekan itu, membuat saya melihat dua sosok bijaksana. Mereka adalah guru kimia dan guru matematika saya. Respon mereka dalam menyikapi kecurangan salah seorang anak didiknya adalah sesuatu yang sangat luar biasa menurut saya. Kemarahan mereka tidak membuat mereka hilang akal. Saya melihat mereka sangat memahami makna mendidik. Merespon suatu kesalahan sepatutnya dalam rangka mendidik pula.

Saya akan mulai dari sesuatu yang saya pelajari dari guru kimia saya. Beliau adalah yang menyaksikan kesalahan kami. Buat saya, beliau berhak untuk memberikan hukuman atau menumpahkan kemarahan. Akan tetapi, beliau tidak melakukan hal tersebut dan malah meminta orang lain yang melakukan hal tersebut. Ini permasalahan moral yang perlu mendapat penanganan yang tepat. Beliau bukan tidak mampu melainkan akan lebih baik menyerahkan urusan kami kepada seseorang yang mungkin lebih didengar oleh kami. Beliau ingin mendidik kami.

Pelajaran berikutnya adalah dari guru matematika yang juga adalah wali kelas kami. Saya melihat, tanggung jawab beliau sebagai guru, pendidik, dan wali kelas bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Memadukan agar para siswa menjadi seseorang yang pandai sekaligus berakhlak bukan perkara mudah. Dan ketika permasalahan menyontek itu diserahkan kepadanya, beliau masih harus mempertimbangkan bahwa kami adalah seseorang yang sedang memperoleh pendidikan.

Beliau marah, karena beliau layak untuk marah. Beliau marah, karena beliau menyayangi kami. Beliau marah, tetapi bukan meghakimi orang tertentu. Beliau marah, tetapi tidak mempermalukan. Beliau marah, tetapi dengan proporsi: tegas juga lembut. Beliau marah, tetapi kami belajar sesuatu dari kemarahannya. Beliau marah, karena beliau menyayangi kami.

Saya menyadari bahwa ketergelinciran-ketergelinciran diri sendiri dan juga orang lain bisa diwujudkan dalam bermacam respon emosi. Seseorang bisa memilih marah membabi buta. Seseorang bisa memilih untuk mempermalukan orang lain. Seseorang bisa memilih membalas kesalahan orang lain dengan sesuatu yang lebih buruk. Seseorang bisa memilih untuk memberikan respon apapun dealam kemarahannya. Akan tetapi, saya belajar bahwa seseorang juga bisa memilih untuk menyikapi suatu kesalahan dengan memberikan suatu pengajaran. Kesalahan adalah gerbang bagi orang-orang yang mau belajar.

Belajar dan memberikan pengajaran atas sebuah kesalahan, siapa yang bersedia melakukan itu? Saya berdoa menjadi salah satunya.

Pelajaran Tentang Harga Diri

Dari NOTES facebook:

Saya teringat akan suatu pelajaran penting dalam hidup saya beberapa tahun yang lalu. Ketika itu saya masih duduk di bangku SMU. Demikian berpengaruhnya pelajaran itu dalam jiwa saya sehingga pengalaman ketika saya memperoleh pelajaran tersebut selalu menjadi jangkar saya untuk senantiasa mengoreksi diri, apakah saya berada pada track yang benar.

Suatu ketika saya dan teman-teman menghadapi ulangan harian untuk mata pelajaran Kimia. Kami mengerjakan sejumlah soal-soal yang cukup sulit ketika itu. Rupanya, tidak semua orang cukup bersabar untuk mengerjakan soal-soal tersebut. Salah seorang di antara kami menyontek ketika guru kimia kami keluar beberapa saat dari kelas. Ternyata hal itu dilihat oleh guru kimia kami tersebut dari jendela belakang ketika hendak kembali ke kelas.

Alih-alih memanggil anak tersebut, guru kimia saya memberi tahukan kejadian itu kepada wali kelas kami. Kami tidak tahu bahwa pada hari itu kami akan menghadapi kemarahan terbesar sepanjang sejarah belajar kami di sekolah tersebut.

Jam terakhir adalah jam Matematika. Wali kelas kami masuk dengan wajah masam dan kami segera merasakan atmosfer yang berbeda. Benar rupanya, wali kelas kami menumpahkan badai kemarahan kepada kami atas peristiwa penyontekan itu. Beliau bertanya kepada kami, di mana kami meletakkan harga diri.

Saya terperangah. Harga diri? Ini adalah suatu kosa kata yang kerap kali saya dengar namun saya tidak benar-benar paham akan artinya.

Beliau berkata, ”Apa yang kalian lakukan ini sama dengan menjual harga diri kalian layaknya barang dagangan di pasar Kebon Roek sana!

“Sepatutnya kalian menggantungkan kejujuran kalian setinggi bintang di langit.”

Beliau senantiasa memakai kata kalian kepada kami walaupun pelaku penyontekan itu hanya satu orang. Buat beliau, ini bukan tentang satu orang tersebut. Ini adalah tentang KAMI. Beliau merasa kecewa atas ketidakjujuran kami. Beliau merasa sedih atas sikap kami yang tidak bisa memberikan yang terbaik buat diri sendiri. Menyontek adalah kekalahan karena saat itu kejujuran dan harga diri terabaikan.

Siang itu, kami diam seribu bahasa. Semua bermain dengan pikiran masing-masing. Untuk kali pertama saya mulai mengerti tentang makna harga diri. Harga diri adalah tempat di mana saya memilih untuk menjadi sesuatu atau sesuatu yang lainnya.

Apakah saya memilih menjadi jujur atau berdusta!?
Apakah saya memilih amanah atau pengkhianatan!?
Apakah saya memilih kesabaran atau jalan pintas!?
Apakah saya memilih menjadi diri sendiri atau hidup dalam kendali orang lain!?
Apakah…
Apakah…
Apakah…
Apakah saya memilih sebagai seorang pemenang atau pecundang!?

Pengalaman hari itu masih berbekas luar biasa pada diri saya. Menurut saya, wali kelas kami telah bertindak bijaksana dengan tidak membuka aib kawan kami atau menghukum atau sekedar menasehati yang bersangkutan secara tertutup. Lebih dari itu beliau memberikan pelajaran berharga buat setiap anak didiknya. Sampai hari ini pun kami tidak pernah tahu siapa pelaku penyontekan itu. Buat kami itu tidak penting lagi.

Pelajaran itu senantiasa mengingatkan saya bagaimana harus bersikap apapun peran saya. Bukan untuk menjadi lebih dari orang lain, sebab standardisasi saya tidak tergantung standardisasi orang lain. Saya tidak berkompetisi dengan orang lain. Jauh lebih berat dari itu, saya bertarung. Bertarung dengan diri sendiri.

Ini adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga buat saya dan saya rasa cukup pantas untuk dibagi. Semoga bisa menjadi pelajaran juga buat siapapun yang membaca.

Sebuah Insight Tentang Doa

Dari NOTES facebook:

Suatu ketika saya mendapat sebuah insight tentang doa. Ini mungkin bukanlah tentang doa yang demikian hebatnya, sebaliknya ini adalah tentang doa yang sangat sederhana. Terlalu sederhana mungkin, bahkan untuk diceritakan.


Kepulangan saya bersama adik sepupu dari sholat tarawih dari rumah salah seorang ustadz adalah bagaimana kisah ini terkuak. Sepupu saya itu membonceng saya dengan motor tua menerobos pekat malam. Dalam perjalanan itu, kami melihat seorang pengendara sepeda berkendara dengan santai. Kami mengenalinya. Dia adalah sahabat kami yang sangat baik dari acara pengajian yang biasa kami hadiri. Adik saya memberi tanda kepada sahabat itu dengan bunyi klakson. Sepatutnya kami menutur salam sebagaimana adab, tetapi kondisi kami di jalan raya membuat kami hanya bisa memberi tanda dengan klakson. Dan kami berlalu mendahului sahabat itu.

“Tahu nggak Dae Ilham?” Sepupu saya bergumam samar di antara deru ringkih motor yang kami kendarai.

“Tahu apa?”

“Doanya Fulan (sahabat kami itu) dikabulkan.”

“Kok tahu?”

“Dia pernah berdoa agar diberikan sepeda supaya bisa lebih rajin pergi ke pengajian.”

Saya teringat cerita serupa dari seorang kawan pengajian yang bertandang ke rumah saya beberapa hari sebelumnya tentang seseorang kawannya yang diberikan kemudahan menuntut ilmu agama dengan sepedanya yang tidak lain adalah buah dari doanya. Saya akhirnya menyimpulkan bahwa kisah kawan itu tidak lain adalah kisah tentang Fulan.

Fulan dahulunya adalah seorang remaja laki-laki pada umumnya di daerah saya. Pertarungan menemukan jati diri telah mengantarkan dirinya menjadi preman kampung. Hari-harinya dihabiskan dengan berkumpul bersama kawan-kawannya, merokok, dan melakukan hal-hal kontraproduktif.

Sungguh Allah telah menetapkan dia memperoleh hidayah. Dia mulai mengikuti kajian-kajian ilmu dan menyadari apa yang dilakukannya selama ini ternyata keliru. Perubahan besar terjadi, dia mulai meninggalkan rokoknya dan bekerja walau sekedar serabutan sebagai kuli bangunan.

Semangatnya yang menggebu untuk mencari pehaman agama yang benar juga untuk memenuhi kebutuhan hidup dibatasi oleh fasilitas yang serba kurang. Setiap hari dia mesti berjalan kaki untuk ke tempat kerja. Juga untuk pergi ke pengajian, dia harus menempuh beberapa kilometer. Kadang-kadang dia beruntung dibonceng oleh kawannya yang memiliki motor dan menuju tempat yang sejalur.

Kondisi tersebut membuatnya berdoa agar Allah berkenan memberikannya sepeda. Dia cuma meminta sepeda agar lebih bersemangat dalam menggapai faidah ilmu agama. Dia tidak meminta motor karena khawatir justru terjerumus pada hal-hal yang justru kurang baik, seperti ngebut-ngebutan atau pergi ke tempat-tempat yang kurang pantas.

Dan kami melihat ALlah mengabulkan doa Fulan. Beberapa waktu berselang, dia memperoleh sepeda dari seseorang. Saya lupa, apakah sepeda itu diperolehnya sebagai hadiah atau dibelinya dengan harga yang sangat murah sehingga tidak ada rasa berat dari sisi ekonomi ketika dia memperoleh sepeda itu. Dan yang saya saksikan bahwa Fulan memenuhi janjinya. Sepeda itu dipakainya untuk pergi bekerja dan ke pengajian saja. Dia pun telah bertransformasi menjadi seseorang yang demikian lemah lembut, santun, dan low profile. Sungguh, saya tidak melihat ada sisa-sisa dari masa lalunya yang dikenal sebagai preman kampung.

Mengingat itu semua, saya hanya bisa terpekur dalam perjalanan pulang tarawih malam itu. Sebuah doa sederhana yang ditujukan hanya untuk menambah ketaatan kepada Rabb semesta alam, adakah yang lebih syahdu dari hal ini? SubhanaLlah, ALlahu akbar…. Saya iri!

Romadhon Punya Cerita

Dari NOTES facebook:

Romadhon lalu meninggalkan bermacam pengalaman buat saya. Saya mengalami menjalani hari-hari Romadhon di sejumlah tempat: Lombok, Bandung, Malang, Bima, dan sebagian kecilnya di dalam perjalanan menuju tempat-tempat tersebut.

Sepuluh hari pertama saya lalui di tanah kelahiran saya di Lombok. Pengalaman paling berkesan dari hari-hari awal romadhon adalah sholat tarawih. Pada dasarnya sholat tarawih yang saya ikuti ini sama saja dengan sholat tarawih-sholat tarawih lain di masjid-masjid, perbedaannya adalah pada imamnya. Sang imam adalah seseorang yang sangat belia, saya menaksir usianya sekitar tiga belas atau empat belas tahun. SubhanaLlah, saya terkesima…. Bukan saja oleh sang imam tetapi juga oleh penerimaan takzim para makmum kepada imam muda itu. Seketika itu, saya merasa mencintai imam kecil itu, karena saya bisa merasakan keikhlasannya. Kefakihan, kealiman, dan bahkan kepemimpinan memang sepatutnya diukur dari ilmu, bukan usia.

Enam hari berikutnya saya habiskan di kota Bandung karena ada beberapa hal yang perlu diurus dengan sejumlah dosen. Bandung, saya selalu mencintai kota ini! Di sini saya senantiasa merasakan hangatnya persahabatan. Saya juga menjadi dari sekian orang yang merasakan gempa Tasikmalaya. SubhanaLlah, pengalaman gempa kedua kali ini saya masih saja terkesima. Ketika gempa itu terjadi, saya tidak segera keluar dari kamar kost dan malah berpikir ketika itu. “Betapa getaran gempa ini bisa bermakna maut namun persiapan apa ketika maut itu benar-benar datang menghampiri saya.” Saya tahu, respon saya menghadapi potensi bencana ketika itu keliru, tetapi dorongan saya untuk berpikir demikian kuat ketika itu.

Sehari sebelum meninggalkan Bandung, hari Jum’at menjelang sholat ashar, saya dimintai tolong oleh TU Fakultas untuk mencari seorang mahasiswa (junior) yang nyaris DO. Ini adalah tahun terakhirnya. Saya berpikir, “ah, mengapa saya yang mesti dimintai tolong?” Waktu demikian sempit buat saya untuk bisa menemukan mahasiswa tersebut dan saya sudah harus pulang keesokan harinya. Pun Sabtu, kegiatan akademik libur.

Kasus junior saya ini begitu aneh. Dia nyaris DO padahal memiliki IPK tertinggi di angkatannya! Teman seangkatannya sudah menyerah untuk mengingatkan dia. Para dosen juga diabaikannya. Insting saya membawa saya ke asrama tempat tinggalnya. AlhamduliLlah saya bertemu dengannya. Biasanya orang sulit bertemu dia. Saya merasa beruntung. Akhirnya saya ngobrol dengan dia dan mengajak dia segera ke kampus. Tidak biasanya, saya berbicara dengan determinasi yang lebih dalam daripada biasanya. Hari itu juga saya ajak dia bertemu pembimbing, staf TU, dan Kepala Prodi. Ternyata dia cuma punya waktu lima hari efektif untuk menyelesaikan tugas akhirnya karena dosen pembimbingnya sudah tidak di Bandung di akhir pekan berikutnya. Yang lebih ajaib, dia minta topic baru. Memang topik baru yang dia minta lebih mudah dari topik sebelumnya, tetapi buat saya itu seperti tawaran bunuh diri secara sukarela. Saya tidak habis pikir. Tetapi saya hanya diam karena merasa tugas saya cuma membuka jalan untuk bisa menyelesaikan studinya dan bukan untuk mengatur harus begini atau begitu. Pilihan ada di tangannya. Saya Cuma menghubungi beberapa teman di program studi untuk bisa memantau ybs. Saya tidak tahu apakah dia berhasil atau tidak dengan kondisi yang demikian mencekik, sampai beberapa hari lalu saya mendapat informasi dia bisa diwisuda Oktober ini. ALlahu akbar… saya merasa beruntung mengambil kesempatan untuk bisa mendukung seseorang walaupun hanya tiga jam saja. Berita wisuda junior saya itu menjungkalkan perasaan saya akan kemusykilan kasusnya. Saya diingatkan kembali untuk jangan pernah berhenti berjuang ataupun memberi dukungan walaupun perjuangan dan dukungan itu secara kasat mata adalah sesuatu yang mustahil.

Dari Bandung, saya menuju Malang. Saya di sana selama empat hari. Saya menjenguk kakak laki-laki dari ibu saya. Beliau sudah sangat sepuh, menjelang sembilanpuluhan. Di awal romadhon beliau mendapat stroke ringan. Saya mendapat kabar bahwa ketika serangan stroke itu datang, setengah bagian tubuh beliau tidak bisa bergerak dan tidak mampu berbicara. AlhamduliLlah, penanganan yang cepat bisa meredam serangan itu. Ketika saya datang, beliau sudah mampu berjalan dan berbicara. Belia bahkan pergi ke rumah temannya dengan berjalan kaki. Beliau juga sudah mulai menasihati saya juga bercerita tentang kisah masa mudanya. Saya menikmati cerita-cerita dan nasihat beliau karena saya merasa punya cukup banyak waktu untuk mendengar beliau. Saya merasa bahwa didengarkan telah menjadi kebutuhan yang makin penting di usia senja beliau, tetapi sayang kebutuhan itu tidak selalu bisa terpenuhi. Ada seberkas rasa sedih dalam hati saya… Ini membuat saya teringat dengan ibu yang kini juga makin terlihat jejak-jejak usia tuanya.

Empat hari berikutnya saya kembali ke Lombok. Sahabat-sahabat lama saya sudah mulai mudik. Senang rasanya bertemu mereka. Menarik melihat bahwa delapan tahun telah membentuk manusia-manusia yang berbeda. Perbedaan nilai dan cara pandang adalah yang membuat mereka kini berbeda. Mereka menjadi lebih dewasa, penuh pertimbangan, dan menghidupkan suasana dengan kelakar-kelakar yang juga berbeda dengan apa yang ada pada masa SMU dulu. Saya berpikir! Di manakah saya? Apakah saya juga telah menjadi orang lain? Ah, perubahan memang suatu keniscayaan, bukan? Akan tetapi, bagaimanapun, saya mencintai mereka.

Empat hari kemudian saya berada di Bima, tanah kelahiran orang tua. Di sini saya mengalami berbagai pengalaman yang sangat menyenangkan. Saya merasa menjadi anak-anak kembali karena melakukan banyak hal yang berbeda. Di sini saya ikut memanen kedelai, membuat garam, melihat tambak yang sedang paceklik karena air menjadi pahit (terlalu asin), mengambil bebek (untuk dimakan malam harinya), mencari mangga malam hari untuk dibuat rujak (yang membuat sakit perut keesokan harinya), dan bercerita tentang teknologi pesawat. Semua itu saya lakukan bersama dengan anak-anak yang usianya jauh di bawah saya. Keceriaan, rasa ingin tahu, antusiasme anak-anak memang senantiasa membuat saya merasa lebih hidup dan penuh imajinasi.

O iya, dalam perjalanan dari kota Bima ke kampung ayah dan ibu saya, ada suatu pemandangan menarik. Dalam bis sesak yang kami tumpangi, bukan pedagang asongan atau pengamen yang saya lihat, melainkan wanita-wanita penjaja ikan bandeng. Ikan-ikan itu ditawarkan dalam piring-piring kaleng seharga sepuluh ribu rupiah di dalam bis. Alhasil pengap ruang bis bercampur juga dengan amis ikan. Coba tebak, berapa ikan yang bisa diperoleh dengan sepuluh ribu rupiah? Satu piring yang dijajakan terdiri dari empat atau lima ekor ikan seukuran lebih kurang 20-25 cm. Murah ya…

Sepanjang perjalanan itu juga, saya melihat bukit-bukit kecil berwarna putih berkilau di atas petak-petak tanah. Itu adalah garam yang siap dipanen. Garam tersebut dipasarkan dalam karung-karung berwarna biru tua. Harga garam itu hanya lima ribu rupiah. Suatu kali, bersama bibi saya, kami meminta garam sekantong plastik besar pada seorang petani garam. Gratis!!!

Di sana pula saya melihat penambang pasir di muara sungai yang kulitnya tidak lagi legam melainkan berwarna tembaga. Mungkin karena panas matahari telah menempa kulit itu selama bertahun-tahun. Saya juga menyaksikan kapal kecil yang dibongkar-muat. Produk-produk lokal pulau-pulau sekitar, semisal kelapa ,kopi, dan pisang, memang kerap diturunkan di muara sungai desa kami itu. Saya diceritakan bahwa kerap kali kapal-kapal kecil itu datang dari Flores atau Sumba. Kesannya memang seperti pelabuhan ilegal.

Di Bima juga, saya melihat elang-elang laut yang berwarna putih yang makin jarang populasinya. Saya juga diberitahu bahwa alam telah banyak berubah. Saya diceritakan bahwa dahulu teripang-teripang seukuran betis orang dewasa banyak ditemui di bibir pantai dan bahkan masuk ke pematang-pematang tambak. Demikian juga sejenis rumput laut yang hidup di air payau dan beberapa jenis molusca layak konsumsi sudah tidak terlihat lagi di pantai itu. Pengolahan lahan tambak memang tidak seperti dahulu yang serba tradisional. Banyaknya pemakaian obat di tambak-tambak tersebut mungkin telah menggerus keseimbangan ekosistem di sana. Sayang…

Hari ke-29 Romadhon, saya sudah kembali berada di Mataram dengan membawa sisa lelah dan tanda tanya. Apakah ini adalah hari terakhir romadhon atau masih harus berpuasa sehari lagi keesokan harinya. Ternyata hari itu adalah hari terakhir puasa. Dan keesokan hari, ied kami dianugerahi hujan deras! AlhamduliLlah.

Menulis Lagi

Setelah beberap tulisan ditampilkan melalui NOTES facebook, akhirnya memutuskan untuk menulis di blog ini lagi.

Sayang kalau ditinggalkan.

Untuk awalnya, beberapa tulisan di NOTES facebook saya tampilkan lagi dalam posts berikut setelah ini.