3.10.2009

Refleksi Jum'at: Persaudaraan Umat Islam?

"Sesungguhnya (hanyalah) orang-orang mu’min itu bersaudara”. (QS. Al-Hujuraat :10)

Ini adalah sebuah pernyataan yang jelas dari Allah bahwa orang-orang yang beriman adalah saudara. Mereka dipersaudaraakan oleh ikatan yang demikian kuat, yaitu keimanan kepada Allah. Maka apa yang membuat realita cenderung berkebalikan dari firman Allah ini? Bukankah banyak saudara-saudara yang muslim dan sedarah berseteru akibat warisan? Atau mereka yang menjadi bermusuhan karena berbeda partai?

Kondisi yang terjadi di masyakat saat ini menunjukkan bahwa persaudaraan antar umat muslim berada di titik kritis. Dan satu hal yang dipertanyakan dari kondisi ini adalah bagaimana sesungguhnya keimanan kita?

Ayat di atas sangat jelas menerangkan bahwa persaudaraan itu adalah milik orang-orang beriman. Maka di manakah keimanan kita ketika tiada dalam hati terbersit rasa persaudaraan itu?

Maka sesungguhnya boleh jadi ini disebabkan oleh semakin jauhnya umat islam dari islam itu sendiri. Pengajian-pengajian yang beberapa tahun lalu marak telah kehilangan cahayanya. Kebanyakan manusia memilih untuk menghabiskan waktunya dalam kesibukan dan kesenangan dunia. Dahulu pada pagi hari setelah subuh, di setiap rumah bisa dipastikan terdengar ceramah subuh baik yang disiarkan televisi atau radio, dan sekarang yang terjadi kebanyakan tertidur atau bahkan menonton acara gosip.

Fenomena kesyirikan yang begitu luas juga melanda. Kisah Ponari dan batu bertuahnya menunjukkan betapa lemahnya iman bangsa ini. Banyak manusia telah lupa siapa sesungghnya yang memberi manfaat dan mendatangkan mudhorot. Allah ditinggalkan demi memburu tuah benda yang sangat rendah. Naudzubillah...

Kondisi rawan persaudaraan muslim ini tampaknya akan semakin sengit di masa menjelang pemilihan umum ini. Dalam sebuah keluarga bisa jadi ada beberapa simpatisan partai/caleg dan ini anehnya membuat hubungan keluarga menjadi renggang. Anak bisa berdebat kasar dengan ayahnya berbeda partai. Suami dan istri bisa saling mendiamkan karena berbeda calon presiden. Belum lagi di luar, ketika para simpatisan partai atau caleg yang satu membuat kerusakan pada media kampanye partai atau caleg yang lain. Kampanye tidak saja menjadi ajang berboros-boros partai atau caleg, tetapi juga membuka gerbang permusuhan yang kian melebar di kalangan bawah. Dan para petinggi partai/caleg masih belum bisa melakukan kampanye yang cerdas untuk menunjukkan kualitasnya sekaligus bisa meredam permusuhan di kalangan akar rumput.

Maka, akankah kita terjebak?
Sekali lagi, kita masih bersaudara 'kan?

Wallahu a'lam bi ash-showab

(Dari khutbah Jum'at pekan lalu)

Refleksi Jum'at: Amalan dan Balasannya

“Dan jika kamu berbuat kebaikan, maka kamu berbuat kebaikan untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka kamu sendiri yang akan menderita”. (QS. Al-Isra: 7)
Pada suatu ketika, ada seorang tukang kayu yang sangat rajin. Hal tersebut menyebabkan sang majikan di perusahaan tempat dia bekerja sangat menyayangi dan mempercayainya. Waktu berganti waktu, hingga ketika si tukang kayu merasa sudah saatnya untuk menikmati hari tua, dia meminta ijin pada sang majikan untuk berhenti. Sang majikan berkeras untuk menahan si tukang kayu. Akan tetapi tukang kayu itu tidak kalah berkeras untuk berhenti. Maka pada akhirnya sang majikan mengijinkan dengan satu syarat: tukang kayu itu harus membuat rumah buat sang majikan sebagai pekerjaan terakhir buat sang majikan. Akhirnya si tukang kayu setuju.

Tukang kayu tersebut mengerjakan tugas terakhirnya. Akan tetapi, berbeda dengan sebelumnya, ia mengerjakan tugasnya dengan setengah hati. Pikirannya selalu melayang pada masa tua yang sebentar lagi akan dinikmatinya. Akhirnya rumah tersebut selesai, tetapi dengan kualitas yang tidak istimewa. Dia segera menemui sang majikan dan menyampaikan bahwa ia sudah menyelesaikan pekerjaannya. Sang majikan berkata, "Rumah itu untuk kamu sebagai balasan kerja keras kamu selama ini." Maka alangkah menyesalnya tukang kayu tersebut ketika menyadari apa yang dikerjakannya tadi sejatinya adalah untuk dirinya sendiri. Ia berangan-angan seandainya pekerjaan membangun rumah tadi dia lakukan dengan sungguh-sungguh maka ia akan memperoleh sesuatu yang jauh lebih baik dari apa yang diperolehnya saat ini.

Ilustrasi di atas pada dasarnya mirip dengan apa yang disampaikan oleh allah lewat perkataanNya seperti yang telah dikutipkan pada awal tulisan ini. Sejatinya, balasan kebaikan akan kembali pada siapa yang melakukan kebaikan tersebut. Demikian pula sebaliknya, hasil dari kejahatan akan kembali pada pelakunya. Satu hal yang berbeda dari kisah di atas, Allah telah memberi gambaran jelas bahwa kebaikan bermuara pada balasan ini dan itu dalam banyak ayat-ayatNya. Sayangnya banyak manusia yang masih luput membaca dan mengetahui hal ini karena enggan untuk membaca ayat-ayat Allah.

Lalu kebaikan-kebaikan apa yang bisa mengantarkan seseorang memperoleh balasan yang baik? Jawabannya bisa dirangkum menjadi tiga poin utama, yaitu:
  • Membersihkan akidah
    Kejahatan terbesar di muka bumi adalah syirik kepada Allah. Sayangnya justru hal ini yang marak terjadi di muka bumi. Seseorang bisa menyatakan keprihatinannya ketika darah dialirkan, tetapi tidak untuk fenomena-fenomena kesyirikan. Salah satu contoh paling nyata adalah fenomena Ponari dan batu bertuahnya. Bukankah ini sama saja dengan yang terjadi di jaman nabi-nabi dahulu ketika orang-orang menyembah batu?

    Maka kebaikan yang perlu diciptakan seorang muslim adalah membersihkan kesyirikan. Bukankah Allah telah berfirman tentang besarnya dosa syirik?
    “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’ : 48, 116)
  • Memperbaiki kualitas ibadah
    Sesungguhnya diterimanya ibadah dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu ikhlas dan sesuai dengan petunjuk rasulullah. Maka sangat penting pengetahuan dalam hal beribadah ini.
  • Menyempurnakan akhlak
    Allah berfirman:
    "Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) berada pada akhlaq yang agung " (Q.S Al-Qolam: 4)
    Sungguh pada diri raulullah saw. ini terdapat suri tauladan. Sepatutnya seorang yang beriman mencontoh beliau dalam perkara akhlak ini karena tiada lain apa yang ditunujukkan rasulullah saw. tidak lain adalah cerminan Al-Quran jua. Aisyah mendiskripsikan Rasulullah SAW sebagai Al Qur`an berjalan:
    "Akhlak Rasulullah SAW adalah Al Qur`an." (H.R.Bukhari)
Wallahu a'lam bi ash-showab

(Dari khutbah Jum'at dua pekan lalu)

Refleksi Pengajian Siaware: Menuntut Ilmu

"Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beranekan macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya, dan ada (pula) yang hitam pekat.
"Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata, dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesunnguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha pengampun.
"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tiada merugi,
"Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha mensyukuri."
(QS. Fathir: 27-30)
Ilmu memegang peranan penting dalam beragama. Mengapa? Karena ilmu menjadi landasan penting dalam beragama. Akan tetapi sebelum membahas lebih jauh soal peranan ilmu ini, perlu diketahui apa sesungguhnya ilmu itu.

Berilmu didefinisikan sebagai mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaannya. Ilmu yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadits maka itu disandarkan pada ilmu agama atau syar'i. Imam Syafi'i menyatakan bahwa ilmu (syar'i) adalah setiap ilmu yang berdasarkan firman Allah dan sunnah RasuluLlah.

Adapun hukum menuntut ilmu (syar'i) adalah wajib sesuai dengan keadaannya. Adapun maksud wajib sesuai keadaan ini adalah bahwasanya kewajiban itu tergantung kondisinya. Ada ilmu yang mutlak seluruh umat Islam mengetahuinya semisal tatacara thoharoh, beribadah, membaca Al-Qur'an denga benar. Ada pula ilmu yang cukup diketahui sebagian saja semisal ilmu tafsir dan ilmu hadits. Pentingnya berilmu atau menuntut ilmu tertera dalam hadits Rasulullah:
"Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam" (Riwayat Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Adi, dari Anas bin Malik)

Dalam hal ilmu ini, manusia dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
  1. Ahlul 'Ilmi/Ulama, yaitu seseorang yang dapat mengambil kesimpulan dari ilmu yang dimilikinya.
  2. Tholib, yaitu seseorang yang mengkhususkan untuk mencari ilmu.
  3. Ammatul Ummah, yaitu orang awam yang baginya tetap terkena kewajiban menuntut ilmu. Golongan awam ini sendiri punya kriteria minimal yang mesti dipenuhi. Syaikh Bin Baz menulis sebuah kitab yang berisi hal-hal minimal yang perlu diketahui seorang muslim, di antaranya memahami Al Fatihah dan surat-surat pendek (juz 'amma), sampai pada penyelenggaraan jenazah. Kitab tersebut berjudul Dursu Al Awwal Li-awaami Al Ummah.

Kembali pada pembahasan peranan ilmu, maka apakah keutamaan dari ilmu (syar'i) itu? Insya Allah, jawabannya sangat banyak sekali, antara lain sebagai berikut:

  1. Ilmu merupakan amal jariyah. RasuluLlah bersabda:
    “Apabila anak adam mati, maka terputuslah segala amal kecuali tiga perkara ; Shadaqoh jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang senantiasa mendoakan orang tuanya ”. (H.R Muslim)
    Pada hadits tersebut shodaqoh jariyah dibedakan dengan ilmu yang bermanfaat, maka pembedaan tersebut menunjukkan keutamaan ilmu karena sesungguhnya amal jariyah yang paling jelas adalah mengamalkan ilmu. Seseorang melakukan suatu amalan berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Tentu saja ilmu tersebut akan menjadi amal kebaikan yang menghasilkan pahala jika disertai niat serta tujuan dari pengamalan ilmu tersebut.
  2. Ilmu merupakan landasan dalam beramal. Seperti yang telang diungkapkan sebelumnya, bahwa landasan dalam beramal adalah ilmu selain ikhlas. Suatu amal diterima oleh Allah disebabkan oleh terpenuhinya dua syarat yaitu ikhlas dan sesuai dengan petunjuk RasuluLlah bagaimana amal tersebut dilakukan. RasuluLlah bersabda:
    "Barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan kami ini yang bukan berasal dari kami, maka dia tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim, dari 'Aisyah ra.)
  3. Menuntut ilmu adalah saudaranya jihad. Seperti yang diketahui bahwa jihad merupakan salah satu amalan agung. Disandingkannya menutut ilmu dengan jihad menunjukkan kemuliaan ilmu. Allah berfirman:
    "Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama mereka dan untuk memberperingatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya." (QS. At-Taubah:122)
    Orang-orang yang menuntut ilmu memiliki peran penting dalam hal memelihara, menjaga, menumbuhkan, mengaplikasikan dan mendakwahkan ilmu yang dipelajarinya sehingga ajaran agama tetap lestari, insyaAllah.
  4. Ilmu merupakan makanan jiwa.
  5. Meminta tambahan ilmu adalah sesuatu yang diperintahkan Allah kepada rasulNya. Allah berfirman:
    ".... Ya Allah, tambahkanlah ilmu kepadaku." (QS. Thoha:114)
  6. Ilmu merupakan jalan menuju surga. Rasululah bersabda:
    ".... Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya." (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, dari Shahabat Abu Hurairah ra.)
  7. Ilmu adalah sesuatu yang seseorang boleh merasa iri terhadap pemiliknya. Rasululah bersabda:
    "Tidak boleh iri kecuali dalam dua hal ; seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu dia habiskan hartanya itu untuk membelakan kebenaran, dan seseorang yang diberi ilmu oleh Allah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya." (H.R Bukhari)
  8. Ilmu yang diamalkan tidak akan berkurang, bahkan sebaliknya akan terus bertambah. Hal ini sebenarnya berlaku untuk segala jenis ilmu. Mengajarkan ilmu akan mendorong seseorang untuk mengulang-ngulang apa yang diketahuinya sehingga pemahamannya akan semakin dalam dan mantap.
  9. Allah menyertakan persaksianNya bersama para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Allah berfirman:
    "Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, (demikian pula) para malaikat dan orang-orang yang berilmu yang menegakkan keadilan. Tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana." (QS. Ali 'Imran: 18)
  10. Ahli ilmu adalah mereka yang takut kepada Allah. Hal ini tertera pada ayat di awal tulisan ini. Adapun orang-orang yang takut kepada Allah itulah sebaik-baik manusia dan Allah akan membalas mereka dengan balasan yang sebaik-baiknya pula. Allah berfirman:
    "Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali Imran: 133)
    "Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasulNya. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehedaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Hadid: 21)
    "Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan, imereka itu adalah sebaik-baik makhluk.
    "Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya."
    (QS. Al-Bayyinah: 7-8)
    Dari poin ini dapat disimpulkan bahwa ahli ilmu bukanlah diukur dari banyak sedikitnya ilmu yang dimiliki melainkan bagaimana dampak ilmu itu terhadap sikapnya, yaitu rasa takutnya kepada Allah. Rasa takut ini yang mendorong seseorang yang beriman melaksankan amal kebajikan.
  11. Para ahli ilmu atau ulama adalah pewaris para nabi. Rasululah bersabda:
    “Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, yang mereka wariskan hanyalah Ilmu, maka barang siapa yang telah mengambilnya , maka ia mengambil bagian yang banyak” (H.R Abu Dawud)
  12. Orang-orang yang berilmu adalah manusia terbaik. Allah berfirman:
    “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan menegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran : 110)
  13. Ulama adalah 'ulil amri yang perlu ditaati sebagaimana tertera dalam QS. An-Nisa: 59, terutama ketika tidak adanya pemimpin formal muslim.
    “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu ” (Q.S An-Nisa : 59)
  14. Malaikat membentangkan sayapnya pada majelis ilmu.
  15. Penuntut ilmu dijauhkan dari laknat dan murka Allah.
  16. dll.
Mengingat pentingnya ilmu, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka sepatutnya kita berbondong-bondong, berlomba-lomba, mengejar untuk memperoleh ilmu. Sejumlah sarana yang dapat dimanfaatkan antara lain dengan menghadiri majelis-majelis ilmu, membaca kitab-kitab atau tulisan-tulisan keagamaan, mendengar ceramah-ceramah ilmu (kaset, televisi, radio, internet), dan bertanya pada ahli ilmu.

“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan menjadikan
faham tentang agama-Nya”
(H.R Al-Bukhari)
Wallahu a'lam bi ash-showab