11.15.2007

Birthday Present

I can count how many times I received birthday present. Thrice. Well, it’s natural since I hardly tell my birthday to other. Usually, I just write it down for fulfilling forms or files.

This afternoon I received birthday present from a friend. Adenita, she gave me such wonderful gift. I was touched. Not only had I rarely got attention as well, but actually I really got fine thing. It's three booklets on surah of Al-Qurán: Luqman, Ar-Rohman, Al-Waqiáh. And the best part of all; I have such a wonderful best friend.

11.04.2007

Today's Inspiration (0711)

THINK From George Jean Nathan

No man can think clearly when his fists are clenched.

About George Jean Nathan
George Jean Nathan, the acerbic American drama critic, was renowned for what he called destructive theater criticism, which helped shape a more serious theatrical community and paved the way for modern critics. He was born in 1882 in Indiana. He and H.L. Mencken coedited the magazines Smart Set and The American Mercury. Although he found little to like in the theater, he became a fierce champion of the playwrights he did appreciate, including Eugene O'Neill and Sean O'Casey. He died in 1958.

short massage service

From my little brother, Firman, I got these messages:

  1. Rasul bersabda, tidak bergeser kaki seorang hamba kelak kecuali bila telah ditanya tentang lima hal. Di antaranya: masa mudanya dihabiskan untuk apa dan tentang dakwah Rasul, bagaimana dia menyambutnya. Kak Ilham ikut kajian donk!
  2. Di surga itu ada bidadari. Bidadari yang paling rendah tingkatannya dapat membuat kita lupa dengan wanita yang tercantik di bumi, dan bidadari yang paling tinggi tingkatannya dapat membuat kita lupa dengan bidadari yang lain. Dialah bidadari bermata jeli.
The messages was sent by him to keep me stand on the right path and back to learn about Islam, as I did. And I speechless....

11.03.2007

Shobar (Patience)

Friday (19/10), as the common of Muslim men, I went to do Sholat Jumát at Islamic Center in Cakranegara. That day actually was not the fun time to go out for distance to attend Sholat Jumát. Since my little brother, Firman, insisted to go there then we and Dad went there.

Sholat Jumát there was a good choice, actually. Khutbah (sermon) I heard was so impressive. It was given by Ustadz Fatah. The khutbah as if turned down the heat of that day. He talked about Shobar (patience).

I concluded the khutbah:
Shobar, in addition to sholat, are consolations for a Muslim. So, it’s important to understand both of those. Shobar consist by two components, those are shobar itself and syukur (gratefulness). And, it is not easy to get a predicate as ash-shobirin (person who has patience). There’s so many people look patience but they are not. Someone can be said as ash-shobirin if he is able to be patience for three things: be patience for the obligation, for prohibition that Allah plots on him, and be patience for the fate that Allah plots on him.

Reflecting on the khutbah, I feel still far from shobar characteristic. O Allah, please favor me Thy guidance….

11.02.2007

Bima dan Kearifannya (Bimanese Wisdom)

Saya menyempatkan diri untuk pulang ke Bima pada libur lebaran lalu. Sehari setelah lebaran, saya berangkat ke bima bersama bunda dengan menggunakan bus. Perjalanan tersebut memakan waktu nyaris 14 jam.

Di Bima inilah saya kembali bersahabat dengan akar saya. Inilah daerah yang menjadi tanah kelahiran keduaorangtua saya. Saya merasa nyaman di sana walaupun udara terik yang membakar. Bima memang tidak sesubur Lombok, tempat rumah kami berada.

Daerah yang panas mungkin telah menciptakan orang bima sebagai manusia berkarakter keras. Akan tetapi kearifan mereka juga mengagumkan. Tulisan ini bukan bermaksud memuji suku sendiri sebab saya sendiri percaya bahwa bumi Indonesia ini penuh dengan berjuta kearifan-kearifan yang mengagumkan. Dan saya melihat satu bagian kecil dari harta bangsa ini di akar saya.

Kasus pertama

Saudara sepupu merayakan resepsi pernikahannya. Pagi-pagi saya datang ke tempat acara akan diadakan. Wow, kesibukan luar biasa ada di sana. Yang saya herankan adalah undangan buat acara nanti sore ternyata baru akan disebar menjelang siang. Undanganpun sangat sederhana, yaitu dengan kertas HVS A4 berwarna kuning yang difotokopi. Saya sempat sangsi bahwa acara akan ramai, namun ternyata dugaan itu meleset.

Terlepas bahwa, ini adalah acara yang dilaksanakan di sebuah desa kecil, saya katakana ini luar biasa. Entah waktu yang berjalan lambat di sini atau memang setiap orang merasa terpanggil untuk memeriahkan acara sehingga dfemikian banyak yang hadir. Bahkan undanganpun hanya formalitas, karena semua sudah berkontribusi sejak awal dalam acara tersebut.

Acaranya sendiri di adakan di tempat yang agak aneh: di atas sawah kering. Tetapi ini unik sekali karena pelaminan dilatari oleh kebun bambu, sementara di hadapan pelaminan sawah membentang luas sejauh mata memandang dan terlihat tegar gunung-gunung seolah menjadi batas antara bumi dan langit. Ternyata tidak perlu gedung yang hebat untuk membuat acara yang indah semacam ini.

Kasus Kedua

Saudara sepupu dua tingkat menikah. Pernikahan ini bertempat di kabupaten sebelah, Dompu. Bayangkan hamper satu desa pergi ke sana dengan menyewa empat buah bis. Saya sendiri pergi memakai motor bersama Paman. Kami bergantian membawa motor. Perjalanan menuju kabupaten Dompu, buat saya, bukan perjalanan mudah. Jalannya berkelo-kelok karena mengikuti kontur bukit dan lembah. Saya melewati hutan, tanah kosong, sawah, dan jurang. Saya harus berhati-hati sekali membawa motor karena tidak terbiasa dengan medannya. Apalagi jalur itu biasanya dilewati bus-bus antar kota.

Saya merasa kagum dengan semangat persaudaraan yang begitu kental sehingga hamper semua orang ingi datang ke pernikahan sepupu saya itu. Perjalanan yang sulit ditambah berdesakan bukan perkara yang menyenangkan. Kapasitas tiap bus jauh terlewati. Sebenarnya ini sangat berbahaya. Mudah-mudahan spirit kebersamaan itu bisa terjaga, namun dengan cara yang lebih aman. Menurut saya, tidak benar juga sesuatu yang baik ditempuh dengan cara yang berbahaya atau melanggar kaidah, hehehe…

Kasus Ketiga

Saya memperhatikan bahwa kebiasaan memanggil orang lain dengan sebutan sebagai anggota keluarga masih bertahan di sana, bahkan walaupun orang yang diajak berbicara sama sekali tidak dikenal. “Wahai ananda,” atau “wahai adinda,” atau wahai bibinda,” atau yang sejenisnya kerap terdengar di telinga saya (yang bertanda kutip terjemahannya saja, sapaan yang asli tentu memakai bahasa Bima)

Kasus Keempat

Ngobrol asyik pun kerap terjadi antara orang yang sama sekali tidak dikenal. Seseorang dengan tiba-tiba bisa nimbrung dalam sebuah pembicaraan untuk memberikan pandangannya. Ini terjadi di kendaraan-kendaraan umum, toko-toko, atau pasar, sawah, atau tempat lainnya. Keramahan yang indah.

Bahkan suatu ketika ketika saya kemalaman dalam perjalanan menuju Bima, beberapa tahun yang lalu, saya diantar dengan selamat oleh seorang pemuda yang tidak saya kenal sama sekali sebelumnya. Ah saya merasa beruntung bisa menjadi orang Bima.

Mudik (Went Home)

Going home is fun, as always. There the place that my life’s begun. There the place that the first pieces of me pierced to construct currently me. Back to home always touchy. And I felt it when I spent my Lebaran holiday several weeks ago (7-23/10).

I arrived by flight from Jakarta. At home, I hugged my mother in a straight line. She looked so happy. However, her faced changed surprised when she’d known that I had metacarpal fracture. Ah…, she always be the first one that’s concerned about me most. Maybe that the reason I postponed to tell her about my accident.

I met my father in the afternoon. He’d just arrived from Manado. He showed similar surprised as Mom did. However I could make them sure that I was okay. I little bit felt guilty for my accident.

For two days, I completely did nothing. I was prohibited to do things because of my hand condition. I feel sad as my mom did the whole household things and I just could see. Finally, my little brother and little sister came the next two days. They went home by flight from Surabaya. It meant that there were people who’d help mom.

For several next days, there was a lot story that we shared between us: Dad, Mom, I, my brother, and sister. How they really love me, I could feel it. There were nice meeting with my friends. Our classic story never gets old to be told again and again. There was a beauty of wisdom of earlier period of Bimanese people: I will type it down later.

Going home always becomes a great moment for me. At that place I can contemplate myself deeply.